KOMENTAR

SESAT dan menyesatkan dikukuhkan sebagai sebutan yang buruk, sehingga dihindari oleh siapa pun juga. Sebagai imbasnya, muncul pula sikap merasa diri paling benar dan menuduh pihak lain yang sesat. Dan tidak jarang sesama umat Islam pun saling melontarkan label sesat. Padahal Al-Qur’an sudah memberikan gambaran jelas tentang orang yang disebut sesat yang sebenarnya.

Surat Al-Qashash ayat 50, yang artinya, “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

Kita hidup di dunia ini akan sering dihadapkan pada pilihan-pilihan yang menguji keimanan. Salah satu fitnah terbesar yang dihadapi manusia adalah godaan untuk mengikuti hawa nafsu tanpa mengindahkan petunjuk kebenaran Ilahi.

Badar bin Nashir al-Badar dalam bukunya Kisah Kaum Salaf Bersama Al-Qur'an (2017: 112) mengungkapkan:

Nabi juga memasukkan hawa nafsu ke dalam sesuatu yang dapat membinasakan ketika seseorang menurutinya tanpa bisa menahannya.

Beliau bersabda, “Keselamatan itu dapat diraih dari tiga hal; pertama, takut kepada Allah dalam keadaan sendiri ataupun di depan publik. Kedua, tetap berlaku adil dalam keadaan senang ataupun dalam keadaan marah. Ketiga, tetap sederhana dalam keadaan fakir ataupun dalam keadaan kaya raya.

Dan kehancuran juga didapatkan dari tiga hal; pertama, hawa nafsu yang terus dituruti. Kedua, kekikiran yang terus ditaati. Ketiga, rasa takjub seseorang pada dirinya sendiri.” (HR. Abu Asy-Syaikh dan Ath-Thabarani dalam kitab Al-Awsath, dengan sanad yang sahih)

Mengikuti hawa nafsu tanpa petunjuk dari Allah dapat memiliki konsekuensi serius dalam kehidupan seseorang, di antaranya:

Pertama-tama, individu tersebut mungkin mengalami ketidakpuasan batin dan perasaan hampa, karena pencapaian yang didasarkan pada hawa nafsu biasanya hanya bersifat sesaat dan tidak membawa kebahagiaan jangka panjang.

Kedua, perbuatan yang terlahir dari hawa nafsu seringkali merugikan orang lain dan menyebabkan konflik dalam hubungan sosial.

Maka takutlah apabila kita sampai disesatkan oleh hawa nafsu, sebab kebenaran itu akan terhalang olehnya. Hawa nafsu membuat kita melangkah tanpa petunjuk kebenaran, sehingga kesesatan yang ditimbulkannya benar-benar membahayakan.

Badar bin Nashir al-Badar mengungkapkan:

Riwayat dari Ali bin Abi Thalib, yang mengatakan, “Ketakutan yang paling aku khawatirkan terhadap kalian itu ada dua, yaitu angan-angan kosong dan dikendalikan hawa nafsu. Dengan angan-angan yang kosong, seseorang akan melupakan negeri akhirat. Dan dengan dikendalikan hawa nafsu, seseorang akan terhalang dari kebenaran.”

Sementara riwayat dari Ibnu Abbas menyebutkan, “Janganlah kalian menemani para penurut hawa nafsu, karena mereka menularkan penyakit hati.”

Menjauhkan diri dari teman yang menuruti hawa nafsu adalah nasihat bijaksana, yang mengingatkan pentingnya lingkungan pergaulan yang baik dalam membentuk karakter kita. Dengan melakukan ini kita menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran agama dan moralitas, serta dapat membantu dalam menjaga hati yang bersih.

Tidak akan pernah mudah menghadapi hawa nafsu, sebab ibarat musuh, ia bersemayam di dalam diri kita sendiri. Manusia sering waspada dengan musuh yang di luar dirinya, tapi terlena dengan sesuatu yang berasal dari dalam diri sendiri. Apabila dirinya sudah mencintai hawa nafsu, dalam keadaan itulah seseorang akan semakin tersesat.

Yusuf Qardhawi dalam bukunya Fiqih Jihad (2010: 91-92) mengungkapkan:

Imam Al-Ghazali menerangkan beratnya jihad melawan nafsu yang memerintahkan kepada kejahatan (nafs al-ammarah bi al-su’) dan menentang kebahagiaan manusia, dari dua aspek:

Pertama, nafsu merupakan musuh dari dalam diri. Apabila pencuri berasal dari dalam rumah, ia akan lebih sulit untuk diwaspadai. Dalam hal ini, seorang penyair mengatakan:

Nafsu selalu mengajak diriku ke jalan celaka,

hingga aku merasa sakit dan nyeri.

Bagaimana seharusnya aku bertindak,

jika musuh itu menyelinap di antara tulang rusukku.

Kedua, nafsu merupakan musuh yang dicintai. Jika seseorang mencintai musuhnya, bagaimana mungkin ia bisa melawannya? Al-Ghazali mengatakan,




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur