SEBAGAI upaya untuk mengatur antrean dan memberikan kesempatan kepada calon jemaah haji yang serius, Kementerian Agama telah memutuskan untuk menjadikan persyaratan setoran awal sebesar Rp 25 juta sebagai tanda jadi, dari total biaya keseluruhan.
Dengan kebijakan ini, mereka yang mampu melunasi jumlah tanda jadi tersebut akan masuk dalam daftar antrean haji. Hal ini bertujuan untuk memberikan prioritas kepada calon jemaah yang telah menunjukkan komitmen finansial dalam melaksanakan ibadah haji.
Syarat tanda jadi Rp25 juta itu tidak menyurutkan semangat muslimin Indonesia, terlebih cara alternatif juga terbuka. Sekali pun tidak memiliki cash Rp 25 juta, tetapi tetap bisa msuk daftar antrian haji. Caranya dengan mengikuti program dana talangan haji.
Sejumlah lembaga keuangan seperti bank, menawarkan pinjaman kepada calon jemaah. Dana talangan haji adalah pinjaman dari bank agar calon jemaah dapat mendapatkan antrean haji. Jadi dana talangan sekitar Rp25 juta itu dipinjamkan sehingga calon haji dapat langsung masuk daftar antrean haji.
Basaria Nainggolan dalam bukunya Perbankan Syariah di Indonesia (2016: 186) menjelaskan:
Pinjaman talangan haji, merupakan pinjaman yang diberikan bank kepada nasabah calon haji khusus untuk menutupi kekurangan dana memperoleh kursi/seat haji dan pada saat pelunasan BPIH (Biaya Penyelenggara Ibadah Haji). BPIH ini sebagai syarat penyetoran biaya perjalanan haji dan nasabah biasanya melunasinya sebelum keberangkatannya menunaikan ibadah haji.
Manfaat produk ini yaitu dapat terpenuhi kebutuhan dana yang mendadak, dengan proses layanan yang begitu mudah dan cepat. Qardh diberikan dalam bentuk mata uang rupiah dan jangka waktu hingga tiga bulan.
Dalam aplikasi perbankan, produk ini menggunakan landasan syariah qardh (pinjaman) wal ijarah (sewa cicil). Qardh wal ijarah adalah akad pemberian pinjaman dari bank untuk nasabah yang disertai dengan penyerahan tugas agar bank menjaga barang pinjaman yang diserahkan.
Pembiayaan ini diperuntukkan bagi perorangan muslim. Sebagai persyaratan seorang calon nasabah harus memiliki rekening tabungan haji di bank syariah tersebut, dan memiliki formuli SPPH (Surat Permohonan Pergi Haji) yang telah dilegalisasi oleh Kantor Departemen Agama Kabupaten setempat.
Sekilas dana talangan haji ini kabar yang menarik, yang meringankan orang-orang yang ingin menyempurnakan rukun Islam. Hanya saja, pihak bank tidak mungkin berbaik hati meminjamkan Rp25 juta begitu saja tanpa mengharapkan imbalan apa pun.
Kemudian sesuai kesepakatan, pihak calon haji itu mencicil pinjaman dana talangan tersebut kepada bank atau lembaga keuangan lainnya. Dalam hal ini, pihak bank akan memperoleh uang jasa yang merupakan bagian dari keuntungan bisnis mereka sebagai imbalan atas peminjaman tersebut.
Nah, keuntungan yang diperoleh melalui uang jasa inilah yang akhirnya menjadi khilafiah atau perbedaan pendapat, ada yang menghalalkannya dan ada pula pihak yang memandang sebagai praktik riba yang diharamkan. Pro kontra ini sangat menarik dicermati, karena dapat membuka cakrawala berpikir.
Ahmad Sarwat pada Ensiklopedia Fikih Indonesia: Haji & Umrah (2019: 373) menguraikan:
Pihak terdepan yang menghalalkan dana talangan haji ini adalah Dewan Syariah Nasional (DSN) dengan fatwa Nomor 29 Tahun 2002. Dalam hal ini DSN seperti pasang badan untuk menghalalkan apa-apa yang selama ini masih dianggap belum memenuhi ketentuan syariah.
Dalam fatwa itu disebutkan secara tegas bahwa pihak bank boleh mendapatkan keuntungan dari jasa meminjamkan uang. Berikut kutipan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI:
1. Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip Al-Ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI Nomor 9/DSN-MUI/IV/2000.
2. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip AI-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI Nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
3. Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji.
4. Besar imbalan jasa Al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan AI-Qardh yang diberikan LKS kepada nasabah.
Demikianlah poin-poin penting dari fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) yang menjadi dasar bagi orang-orang yang menghalalkan dana talangan haji.
Bukan sekadar membolehkan, fatwa DSN tersebut juga membuat persyaratan terperinci, yang dianggapnya menghindarkan dana talangan haji dari praktik riba.
Namun, pihak yang kontra juga tidak sedikit, dan mengemas beberapa poin penolakan dalam sejumlah argumentasi. Ahmad Sarwat (2019: 376-378) mengungkapkan alasan penolakan dana talangan haji, di antaranya:
a. Bukan ujrah tetapi bunga pinjaman
Secara substansi, keberadaan pinjaman dana talangan ini hukumnya haram. Bahkan masyarakat awam akan dengan mudah mengenali bahwa pinjaman ini adalah utang berbunga riba.
KOMENTAR ANDA