KOMENTAR

SUNGGUH beruntung Zainab binti Jahsy yang menonjol kecantikan rupanya, idaman para lelaki berkualitas. Dan yang tak terbantahkan, gadis jelita itu memiliki garis keturunan yang terhormat, leluhurnya sama dengan nenek moyang Rasulullah saw. Dia seperti bunga yang mekar di tengah gurun pasir Arabia, sejak mudanya Zainab menjadi sosok yang menawan.

Abdurrahman Umairah dalam bukunya Tokoh-Tokoh yang Diabadikan Al-Qur’an Volume 2 (2000: 240) menerangkan:

 Zainab binti Jahsy adalah cucu perempuan Abdul Muthalib bin Hasyim, pemuka bangsa Quraisy. Dia merupakan anak perempuan Jahsy bin Rabab bin Ya’mur. Ibunya bernama Umaimah binti Abdul Muthalib. Pamannya adalah Hamzah bin Abdul Muthalib yang dikatakan oleh Rasulullah.

Buku-buku sejarah menceritakan Zainab sebagai perempuan yang berkulit putih dan gemuk; citra sempurna perempuan Quraisy. Dia disanjung karena kecantikannya, sebagaimana dia pun disanjung karena berketurunan terpandang, sehingga dari mulutnya pemah terlontar kata-kata, “Aku pemuka kaum wanita Abdus-Syams.”

Zainab mendengar dakwah Islam dari saudaranya, Abdullah bin Jahsy. Dia lalu beriman, memeluk Islam dengan baik, melepaskan diri dari berbagai tradisi jahiliah secara total, dan memusatkan diri kepada Tuhannya dengan keikhlasan dan keimanan.

Dengan status sosial yang disegani serta kecantikan yang menonjol, Zainab binti Jahsy ternyata mengemban amanah yang tidak ringan. Dia adalah perempuan yang dimuliakan Tuhan sebagai pendobrak suatu tradisi buruk jahiliah. Zainab rela berkorban demi mematahkan suatu tradisi buruk.

Kemudian Allah Swt. memerintahkan Zainab binti Jahsy untuk menikah dengan seorang pria bernama Zaid bin Haritsah. Dia seorang pemuda saleh yang pernah menjadi anak angkat Nabi Muhammad dan memperoleh pendidikan langsung dari beliau. Perjodohan Ilahiah ini terlihat amatlah menawan hati siapapun.

Namun, keimanan yang bertakhta di hatinya mengalami ujian yang tidak ringan. Zaid bin Haritsah memang seorang lelaki cemerlang. Dia pahlawan Islam yang dibanggakan Rasulullah. Kurang apa lagi kualitas kepribadian Zaid yang sejak masa kanak-kanak sudah hidup bersama Nabi Muhammad.

Lantas, apa yang membuat Zainab binti Jahsy terguncang setelah memperoleh perintah Tuhan?

Ya, calon suaminya itu adalah seorang mantan budak belian yang dimerdekakan oleh Rasulullah. Pada masa itu, perbudakan yang mengerikan telah terjadi, di mana manusia diperlakukan secara hina, bahkan lebih buruk daripada perlakuan terhadap binatang.

Pernikahan itu dapat mencoreng darah bangsawan yang berdenyut di nadinya.  Ibarat mencoreng arang di muka Zainab dan keluarganya. Apa kata dunia Arab kalau gadis jelita nan terhormat malah menikah dengan mantan budak? Apakah dirinya tega mengotori darah biru yang mengalir dalam martabat keluarga?

Secara manusiawi Zainab pun terguncang. Ada banyak perempuan di bumi ini, mengapa dirinya yang terpilih menikahi seorang mantan budak, yang secara sosial teramat rendah kedudukannya?

Keberatan itulah yang disampaikan kepada Rasulullah, bahwa tidak ada masalah dengan kapasitas kepribadian dan kualitas keimanan Zaid bin Haritsah, melainkan disebabkan tekanan sosial teramat berat untuk dipikul oleh Zainab binti Jahsy.

Syaikh Muhammad Abdul Athi Buhairi dalam bukunya Tafsir Ayat-Ayat Ya Ayyuhal-Ladzina Amanu (2005: 266) menjelaskan:

Beliau pun pergi menemui Zainab binti Jahsy (seorang perempuan merdeka), anak bibinya, dengan tujuan meminang untuk anak angkatnya, Zaid bin Haritsah (seorang bekas budak), lalu apa yang terjadi?

Zainab menolak keinginan Rasulullah tersebut, seraya berkata, “Saya tidak mau menikah dengannya!”

Maka, turunlah wahyu yang menyeru hati Rasul yang agung, yang mencela dengan keras siapa pun yang menolak keputusan Allah atau keputusan Rasul-Nya.

Surat al-Ahzab ayat 36, yang artinya, “Tidaklah pantas bagi mukmin dan mukminat, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.

Dapatlah dimaklumi alasan penolakan dari Zainab binti Jahsy, yang hidup bukan di zaman modern melainkan di masa yang mana perbudakan masih merajalela. Meskipun memeluk agama Islam, dirinya masih tersandung oleh tradisi jahiliah.

Namun, Allah Swt. menginginkan perubahan sosial itu bermula dari Zainab binti Jahsy, dan hanya dengan bermodalkan keimanan yang dapat membuka mata hatinya.

Syaikh Muhammad Abdul Athi Buhairi (2005) menceritakan:

Ketika Rasulullah membacakannya kepada Zainab, ia bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah engkau meridai dia menjadi suamiku?”

Rasul menjawab, “Ya.

Zainab berkata, “Jika demikian, saya tidak akan mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, saya rida dengan apa yang diridai Allah dan Rasul-Nya.” Zainab pun menikah dengan Zaid bin Haritsah, setelah ia menolaknya terlebih dahulu.  




Assalamualaikum dan Semangat Mulia yang Menaunginya

Sebelumnya

Tafsir Keadilan Gender di Antara Mukmin Perempuan dan Mukmin Laki-laki

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tafsir