KOMENTAR

Wajar saja Zainab menolak terlebih dahulu, karena siapa pun butuh waktu untuk menata hatinya. Meski sempat terguncang oleh tekanan sosial dari tradisi jahiliah, akhirnya keimanan adalah pilihan terdepan. Maka Zainab memantapkan hatinya untuk menerima amanah dari Allah dan Rasulullah, untuk sebuah misi agung di mana Islam memuliakan semua manusia.

Abdurrahman Umairah (2000: 243) menerangkan:

Sebagian pemikir Islam berpendapat bahwa kesepakatan itu dibangun di atas dua landasan. Pertama, pelaksanaan atas perintah Allah dan ketaatan kepada Rasulullah mengenai sesuatu yang disukai dan diperintahkannya.

Kedua, Zaid bin Haritsah sering dipanggil dengan Zaid bin Muhammad. Sebutan inilah yang berandil besar dalam penerimaan Zaid. Karena itu, Zainab pernah berkata, “Siapakah yang lebih terhormat daripada Zaid bin Muhammad?”

Sebenarnya, sering terjadi pernikahan yang didahului penolakan. Pada zaman sekarang pun kita akan cukup sering menemukannya. Akan tetapi penolakan Zainab bukanlah asal menolak, melainkan berlandaskan beratnya tekanan tradisi jahiliah.

Pada akhirnya, Zainab membuktikan pentingnya ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya di atas egoisme sempit suatu status sosial. Pernikahan itu benar-benar terjadi untuk mematahkan tradisi jahiliah yang menghinakan umat manusia. Sejarah pun mencatat, suatu pernikahan terjadi melalui perjodohan Tuhan, demi mewujudkan prikemanusiaan yang sejati.

Sayyid Quthb dalam buku Tafsir Fi Zhilalil Qur`an Edisi Istimewa Jilid 18 (2004: 96) menguraikan:

Rasulullah hendak menghancurkan strata sosial dan kelas-kelas masyarakat yang diwarisi secara turun-temurun sebelumnya. Rasulullah menghendaki masyarakat Islam dalam kedudukan yang sama laksana gigi-gigi sisir. Tidak ada keistimewaan seorang pun atas orang lain melainkan karena ketakwaannya.

Para budak yang telah dibebaskan dan kabilah yang berlindung kepada kabilah lain yang lebih besar merupakan kelompok masyarakat yang berkelas lebih rendah daripada tuan-tuan dan kepala-kepala suku. Di antara mereka itu ada Zaid bin Haritsah bekas budak Rasulullah yang telah diadopsi oleh beliau sebagai anak asuh. 

Kemudian Rasulullah menghendaki realisasi dari persamaan yang sempurna dengan cara menikahkan Zaid dengan perempuan mulia dari Bani Hasyim, yaitu kerabat Rasulullah sendiri yang bernama Zainab binti Jahsy.

Dengan praktik demikian, Rasulullah ingin menghilangkan segala perbedaan kelas dengan menerapkannya sendiri secara langsung dalam keluarganya dan kerabatnya.

Perbedaan kelas itu telah begitu berakar dan sangat keras, di mana ia tidak mungkin dapat dihilangkan melainkan oleh pelaksanaan dan contoh praktis dari Rasulullah. Sehingga kaum muslimin dapat mengambil contoh darinya dan seluruh manusia berjalan di atas hidayah yang ditunjukkan oleh Rasulullah dalam perkara ini.

Zainab binti Jahsy merupakan salah satu tokoh penting dalam upaya Rasulullah untuk menghancurkan buruknya tradisi jahiliah dan perbedaan kelas dalam masyarakat. Rasulullah menginginkan masyarakat Islam yang setara, di mana tidak ada keistimewaan seseorang atas yang lain kecuali karena ketakwaannya. Zainab menjadi bagian dari langkah-langkah nyata dalam mewujudkan persamaan tersebut.

Sebagai istri Zaid bin Haritsah, seorang bekas budak yang diadopsi oleh Rasulullah, Zainab binti Jahsy dipilih untuk menikahi Zaid sebagai bagian dari rencana Ilahiah untuk merangkul seluruh umat manusia dalam kesetaraan.

Setiap pernikahan adalah amanah yang harus kita jaga, dan Zainab binti Jahsy merupakan inspirasi yang luar biasa.




Assalamualaikum dan Semangat Mulia yang Menaunginya

Sebelumnya

Tafsir Keadilan Gender di Antara Mukmin Perempuan dan Mukmin Laki-laki

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tafsir