Ki-Ka: Andina, Diba, dan Windy (Duta Mahasiswa Anti Kekerasan 2022)/ Dok. FARAH
Ki-Ka: Andina, Diba, dan Windy (Duta Mahasiswa Anti Kekerasan 2022)/ Dok. FARAH
KOMENTAR

DINAS Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) DKI Jakarta memilih sejumlah remaja perempuan untuk menjadi "Duta Mahasiswa Anti Kekerasan", sebagai salah satu upaya mengampanyekan setop kekerasan berbasis gender di kalangan generasi muda.

Program Duta Mahasiswa Anti Kekerasan 2022 angkatan pertama diikuti 14 finalis yang menjalani karantina pada bulan Juli tahun lalu.

Program ini diharapkan menjadi pionir yang bisa diikuti oleh daerah-daerah lain sebagai bentuk partisipasi aktif masyarakat menghentikan tindak kekerasan.

Farah.id berkesempatan mewawancarai tiga Duta Anti Kekerasan dari DKI Jakarta yaitu Zahra Diba (STIK Sint Carolus), Windy Oktaviani (mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Budi Kemuliaan), dan Andina Putri Safira (Mahasiswi Universitas Budi Luhur) dalam acara Safer Internet Day 2023 yang digelar Kementerian PPPA (9/2/2023).

Bagaimana kalian bisa terpilih menjadi Duta Anti Kekerasan PPPA?

Diba: Kami menjalani seleksi di kampus masing-masing. Di kampus saya, calon Duta Anti Kekerasan harus mempresentasikan visi, misi, dan program yang ingin dilaksanakan.

Di kampus Andina, ada Duta Anti Kekerasan tingkat kampus yang kemudian diseleksi untuk bisa maju ke DKI Jakarta. Sedangkan di kampus Windy, namanya diajukan oleh para dosen ke Dinas PPPA. Jadi prosesnya berbeda-beda.

Sejak terpilih menjadi Duta Kekerasan PPPA, apa saja yang sudah kalian lakukan?

Andina: Kami pergi ke SMP, SMA, dan universitas. Kami mengikuti jadwal dari Dinas PPPA untuk menjadi fasilitator, moderator, atau pembicara. Intinya, kami mengajak anak-anak muda untuk lebih aware, lebih peduli, dan tidak takut untuk bertindak jika kita menjadi saksi tindak kekerasan atau pelecehan.

Sebelum menjadi Duta Anti Kekerasan, apakah kalian memang sudah ngeh dengan maraknya kekerasan terhadap perempuan dan anak?

Windy: Saya sudah memahami, terlebih lagi saya pernah menjadi korban. Waktu masih di SMA, saya pernah mendapat perlakuan tidak terpuji saat antre tiket kereta.

Alasan utama saya menjadi Duta Anti Kekerasan adalah saya ingin mengampanyekan bahwa semua orang harus bisa speak up, jangan diam saja, jangan merasa tertindas dengan mengatakan kekerasan atau pelecehan yang kita dapat adalah takdir. Ini bisa dicegah.

Menurut kalian, seberapa besar kepedulian anak-anak muda terhadap isu kekerasan dan pelecehan berbasis gender ini?

Andina: Sudah banyak organisasi antikekerasan yang didirikan anak-anak muda, itu artinya banyak yang sudah aware. Tapi di sisi lain, banyak juga yang belum memahami dengan baik.

Di sinilah tugas kami sebagai Duta Anti Kekerasan untuk membuka mata mereka juga lebih berperan aktif dalam mencegah dan menghentikan kekerasan.

Apa tantangan yang kalian hadapi untuk sosialisasi antikekerasan di kalangan anak muda?

Diba: Salah satunya adalah saat mengedukasi para remaja laki-laki. Ada lebih banyak pertanyaan dari mereka, mengingat perspektif yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Karena itu kami biasanya butuh waktu ekstra untuk menjelaskan pelecehan dan kekerasan berbasis gender dan harus memberi contoh dari pengalaman nyata sehari-hari.

Bagaimana kalian menyikapi anggapan atau pembelaan dari pelaku kekerasan atau pelecehan bahwa perempuanlah yang 'mengundang'?

Andina: Dari banyak pengalaman, bukan pakaian atau tempat atau bahkan gender yang menjadikan seseorang menjadi korban. Bukan hanya perempuan, laki-laki juga bisa jadi korban.

Windy: Menurut saya ada dua macam pelaku kekerasan, yaitu pelaku situasional dan pelaku yang memang memiliki gangguan psikologis atau kelainan seksual. Pelaku situasional biasanya melakukan penyimpangan saat ada niat, waktu, dan kesempatan. Tapi pelaku yang memang memiliki kelainan, itu bergantung pada kemampuan mengelola hasratnya.

Diba: Biasanya laki-laki menyalahkan perempuan, dan ada pula perempuan yang memang terkadang berpakaian terbuka yang tidak pada tempatnya. Tapi tetap saja, hal itu bukan berarti membenarkan tindak pelecehan atau kekerasan yang dilakukan.

Apa harapan kalian dengan terselenggaranya acara Safer Internet Day 2023?

Andina: Masyarakat harus lebih menyadari, jika sedang asyik menggunakan media sosial dan menemukan hal yang menjurusa pada sexual harassment, bisa saling membela dan melindungi.




Sekilas tentang Muslim Women Australia

Sebelumnya

Masnu’ah, Pahlawan Ketidakadilan Gender di Pesisir Demak

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Women