KOMENTAR

“KALAU lagi ada masalah, semua orang dibuatnya pusing!”

Sambil tertawa pria muda itu berkomentar tentang tingkah polah seorang gadis. Namun, rekan-rekannya yang lain tidak bisa tertawa, sebab mereka betul-betul puyeng dengan keluh-kesahnya; masalah sekepal dijadikannya segunung, persoalan setitik dijadikannya selautan.

Bukannya sembuh dari tabiat macam begitu, keluh kesahnya malah makin tersalurkan berkat kemajuan teknologi. Ya, mudahlah ditebak! Kini si gadis galau rajin mengumbar keluh kesahnya di berbagai media sosial.

Apa hasilnya dari berkeluh-kesah?

Keluhanmu tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali:

  1. Hanya akan membuat orang-orang yang mencintaimu menjadi khawatir. Hidup mereka menjadi tidak tenang, ikut larut dalam keresahan bahkan ketakutan.
  2. Hanya akan membuat orang-orang yang membencimu menjadi senang. Tanpa perlu bersusah payah mendapatkan bahan, mereka itu ibarat ditiban durian runtuh untuk berpesta di atas kemalangan yang tengah melanda dirimu.

Susah juga untuk tidak berkeluh-kesah, terlebih apabila beban batin itu demikan banyak hingga akhirnya meluap dan meluber kemana-mana. Pada titik ini dapat dimaklumi mengapa ada orang yang teramat doyan berkeluh-kesah.

Sebetulnya, perkara keluh kesah itu kembali lagi kepada kekuatan mental masing-masing; ada orang yang ditimpa masalah setitik, tetapi keluh-kesahnya bagaikan orang yang tenggelam di lautan, di lain pihak ada orang yang terkena musibah besar tetapi dirinya tetap tenang.

Bukan sekadar perpaduan daging dan tulang yang membentuk tubuh, melainkan hakikat manusia adalah jiwanya. Faktor pengalaman memang berpengaruh terhadap kekuatan jiwa seseorang dalam menghadapi cabaran kehidupan dunia.

Namun, kekuatan jiwa itu membutuhkan sumber energi, yang bagi setiap pribadi muslim diikrarkannya di setiap shalat; wa mahyaya wamamati lillahi rabbil alamin, artinya, sesungguhnya hidupku dan matiku hanyalah untuk Tuhan semesta alam.

Apabila ikrar ini diresapi dengan sempurna, maka tidak ada lagi bahan untuk berkeluh-kesah, sebab hidup mati kita hanya untuk Allah Ta’ala.

Apabila hidup mati demi Allah semata, buat apa lagi mengeluhkan topan badai kehidupan, toh kesulitan ataupun kemalangan setiap mukmin juga berbalas pahala, dan merupakan cara Tuhan meningkatkan kualitas hamba-Nya.

Hanya saja kedalaman hati orang kan berbeda-beda, ada yang hatinya teramat dangkal, begitu sedikit diguyur masalah sudah meluber kemana-mana keluh kesahnya. Ada pula orang yang hatinya dalam sekali, sanggup menampung banyak sekali beban kehidupan tanpa berkeluh-kesah. Hebat!

Namun, bukan berarti keluh-kesah itu benar-benar terlarang. Sekuat-kuatnya hati suatu saat dapat saja rapuh hingga kemudian patah oleh beratnya beban masalah. Sedalam-dalamnya hati, apabila terus diguyur masalah, suatu saat akan meluap juga.

Dari itulah agama menyediakan kesempatan bagi hamba-hamba Allah untuk meluahkan hati langsung kepada Ilahi. Dalam munajat yang mendalam pada sepertiga malam terakhir luahkanlah semua beban kehidupan itu. Niscaya hati akan lapang, dan secara berangsur masalah demi masalah akan terurai.

Surat Yusuf ayat 86, yang artinya, “Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.”

Siapa sih orang yang secara terbuka akan mengadukan keluh-kesahnya kepada Allah?

Bukan Nabi Yusuf.

Melainkan seorang ayahanda, yakni Nabi Ya’kub. Dirinya mendapati kabar yang teramat memukul mentalnya, Yusuf yang masih kecil diterkam serigala, mati tercabik-cabik hingga disantap makhluk-makhluk buas tersebut.

Teramat berat bagi Nabi Ya’kub menerima kenyataan yang demikian berat. Namun, dirinya menolak berkeluh-kesah kepada manusia, melainkan memutuskan untuk mengadukan kepada Allah Swt.

Kita sama-sama tahu ternyata Yusuf bukanlah diterkam serigala, melainkan dibuang oleh kakak-kakak tirinya ke sebuah sumur tua. Kita pun mengetahui, akhirnya apa yang diadukan Nabi Ya’kub kepada Allah, dibalas dengan kebaikan yang lebih besar;

Nabi Ya’kub bertemu kembali tatkala putranya telah menjadi pejabat tinggi di Mesir. Dengan demikian, keluh-kesah Nabi Ya’kub kepada Ilahi berujung dengan teramat indah.  

Sebagai penutup, insya Allah akan menjadi lebih manis dengan mencerna kutipan berikut ini.

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah pada buku Terapi Mensucikan Jiwa (2018: 150) menerangkan:

Sebagian para Salaf melihat ada orang yang mengadukan kepada orang lain tentang kebutuhan dan kekurangannya secara berkata, “Wahai kawan, demi Allah! Tidak akan menambah sesuatu apapun jika kamu mengadukan orang yang mengasihimu kepada orang yang tidak mengasihimu.”




Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Sebelumnya

Tentang Cinta Setelah Pernikahan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur