Pemain dan kru Arema FC berduka cita atas 125 korban jiwa dalam tragedi Kanjuruhan/ AP-Achmad Ibrahim
Pemain dan kru Arema FC berduka cita atas 125 korban jiwa dalam tragedi Kanjuruhan/ AP-Achmad Ibrahim
KOMENTAR

DUNIA olahraga Indonesia kembali disorot masyarakat internasional, namun sayang kali ini bukan karena prestasi dari lapangan bulutangkis atau cabang olahraga lain melainkan kerusuhan di stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022) yang menelan korban jiwa 125 orang.

Menurut data per 3 Oktober, jumlah anak-anak yang menjadi korban akibat terinjak-injak bertambah menjadi 32 orang. Kementerian Pemberdayaan Peremuan dan Perlindungan Anak menjelaskan bahwa usia korban berkisar antara tiga hingga 17 tahun.

Salah satu kisah pilu datang dari Endah Wahyuni, kakak adari Ahmad Cahyo (15) dan Muhammad Farel (14) yang meninggal dalam tragedi tersebut.

"Saya dan keluarga tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Mereka suka sepak bola, tetapi tidak pernah menonton Arema secara langsung di stadion Kanjuruhan, ini adalah pertama kalinya," ujar Endah saat pemakaman dua adiknya, Minggu (2/10/2022) dikutip dari Reuters.

Bentuk Tim Pencari Fakta

Pemerintah telah membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) untuk melakukan investigasi terhadap tragedi Kanjuruhan. Tim tersebut dipimpin Menko Polhukam Mahfud MD, dengan anggota terdiri dari menteri, akademisi, pakar sepak bola.

Tim tersebut akan mencari fakta siapa yang bertanggung jawab atas peristiwa dengan total korban 450 orang (luka dan meninggal) itu lalu melaporkan hasil investigasi langsung ke Presiden Joko Widodo paling lambat dalam waktu satu bulan.

Tragedi Kanjuruhan disebut-sebut sebagai salah satu tragedi stadion paling kelam dalam sejarah pertandingan sepak bola di dunia.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mempertanyakan penggunaan gas air mata yang dipakai oleh polisi dalam menertibkan para pendukung Arema FC yang mengamuk karena kalah dari rivalnya, Persebaya Surabaya (skor 2-3). Termasuk juga mendalami dugaan tentang gas (yang digunakan polisi) sudah kedaluwarsa.

Disebutkan bahwa penonton dalam laga tersebut melebihi kapasitas. Tiket terjual 42.000 lembar padahal kapasitas tempat duduk hanya 38.000.

Penonton yang panik dengan semprotan gas air mata mencoba melarikan diri dari stadion yang penuh sesak. Apalagi diketahui saat itu hanya dua pintu keluar yang dibuka.

Sebelumnya, para pendukung Persebaya sudah dilarang untuk menonton di stadion Kanjuruhan dengan alasan keamanan demi menghindari bentrok seusai laga Liga 1 BRI tersebut.

Pemerintah berjanji akan memberikan santunan kepada keluarga korban meninggal. Kementerian Kesehatan RI juga akan menanggung biaya pengobatan para korban luka-luka yang dirawat di rumah sakit.

FIFA, badan pengatur sepak bola dunia, mengatakan dalam peraturan keamanannya bahwa senjata api atau "gas pengendali massa" tidak boleh digunakan dalam pertandingan.

“Jika tidak ada gas air mata mungkin tidak akan ada kekacauan,” kata Choirul Anam, seorang komisioner di Komnas HAM, dalam sebuah pengarahan di stadion.

Presiden Joko Widodo memerintahkan PSSI menangguhkan semua pertandingan Liga 1 sampai penyelidikan selesai.

Presiden Arema FC yang berlinang air mata, Gilang Widya Pramana meminta maaf kepada para korban dan mengatakan dia siap bertanggung jawab penuh.

"Nyawa lebih berharga daripada sepak bola," katanya. .




Bintang Puspayoga: Angka Perkawinan Anak Menurun dalam Tiga Tahun Terakhir

Sebelumnya

Lebih dari 200 Rumah Rusak, Pemerintah Kabupaten Garut Tetapkan Status Tanggap Darurat Bencana Gempa Bumi Selama 14 Hari

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News