KOMENTAR

TENTANG sosok peminta-minta yang berpenampilan dekil dan pakaian compang-camping, bayangan macam ini tampaknya perlu dianulir. Karena pada kenyataannya yang tak kalah ganas dalam meminta-minta adalah mereka yang rapi dan wangi. Sekilas tidak ada tampang peminta-minta dari tampilan mereka yang menggugah.

Marilah mengoreksi cara pandang, peminta-minta bukan lagi orang-orang yang terkapar di pinggir jalan menjual kenestapaan. Orang-orang yang tampil gagah dan cantik pun bisa saja punya mental mengemis, yang hidupnya dari belas kasihan pihak lain.

Islam menegakkan kehormatan manusia melalui sikap hidupnya. Mental meminta-minta tidaklah mendapatkan penghargaan, sebab Tuhan sudah melengkapi setiap insan dengan sumber daya yang mumpuni untuk mandiri.

Danial Zainal Abidin pada buku 7 Formula Individu Cemerlang (2007: 162-163) mengungkapkan:

Kesalahan dalam menentukan keutamaan dalam aspek keuangan juga dapat menimbulkan masalah dalam hidup. Pada dasarnya, Islam membenci golongan yang malas dan memuji mereka yang rajin berusaha mendapatkan rezeki yang halal.

Imam Bukhari dan Ahmad menyampaikan sabda Nabi saw., “Tidak ada makanan yang lebih baik daripada makanan yang diperoleh dari pekerjaan hasil tangan sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud memakan makanan dari pekerjaan hasil tangannya sendiri.”

Sungguh indah perumpamaan yang disajikan; tentang dua tangan yang dianugerahkan Ilahi janganlah sampai disia-siakan. Gunakanlah dua tangan itu untuk menegakkan kehormatan diri, bekerja yang giat sehingga tidak perlu menumpang hidup dari belas kasih orang lain.

Bahkan patutlah bercermin kepada yang cacat anggota tubuhnya, tetapi sempurna ikhtiar mereka dalam memperjuangkan kehidupan. Lain halnya bagi mereka yang mengalami cacat mental, yang memilih jalan pintas meminta-minta demi masa depan perutnya. Iklim batin beginilah yang hendaknya diluruskan kembali, supaya jalan kebenaran itu terbuka lebar.  

Mental memita-minta inilah yang perlu diberantas dari diri sendiri, mental yang suka menadahkan tangan, merendahkan diri demi belas kasihan pihak lain, sementara seluruh anggota tubuh kita masih lengkap untuk digerakkan mencari rezeki yang luas terbentang.

Gengsi seringkali menjadi ganjalan terdalam bagi sebagian orang dalam bekerja keras, maunya kerja santai tapi gajinya besar. Ini jelas harapan yang sulit! Anehnya, kok bisa gengsi itu sirna tatkala merendahkan martabat diri dengan meminta-minta atau istilah halusnya ketika mengharapkan belas kasih pihak lain.

Adil Musthafa Abdul Halim dalam buku Kisah Bapak dan Anak Dalam Al-Qur'an (2007: 138) menerangkan:Pekerjaan Nabi Zakaria as. adalah tukang kayu. Ia bekerja dan mencari nafkah dengan keringatnya sendiri. Sebagaimana kakeknya Nabi Daud as. yang juga makan dari hasil keringatnya sendiri.

Nabi saw. bersabda, “Zakaria adalah seorang tukang kayu.” (HR. Muslim dan Ibnu Majah)

Nyatanya, tNabi Zakaria tidak gengsi bekerja sebagai tukang kayu, karena pekerjaan itu menjadi mulia berdasarkan hasil dari kerja tangan sendiri. Pekerjaan halal yang menghindarkan diri dari meminta-minta, itulah profesi yang menjaga kehormatan.

Menariknya, ditegaskan pula Nabi Daud menyantap makanan yang merupakan hasil dari tetes keringatnya sendiri. Ya, berkeringatlah untuk mendapatkan penghidupan!

Demikian besarnya perhatian agama terhadap pentingnya memelihara diri dari meminta-minta, maka Nabi Muhammad saw. pun mempertegas pula risiko dari perbuatan mengemis itu.

Syaikh Muhammad Al-Utsaimin dalam buku Syarah Riyadhus Shalihin (2019: 499) mengungkapkan:

Maka dalam hadis Abu Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda, “Barang siapa mengemis kepada orang demi menumpuk harta maka sesungguhnya ia mengemis bara neraka. Maka terserah kepadanya akan mengurangi atau memperbanyaknya.”

Yakni, barang siapa mengemis harta orang lain demi memperbanyak hartanya sendiri, sesungguhnya ia mengemis bara neraka, maka terserah kepadanya apakah akan mengurangi mengemis atau memperbanyaknya.

Jika ia memperbanyak, maka bara itu akan bertambah banyak baginya; dan jika menguranginya, maka berkuranglah bara neraka itu; dan jika meninggalkannya, maka ia selamat dari bara api neraka.

Kutipan ini cukup manis dijadikan penutup untuk kembali mengangkat harkat diri, dengan cara memelihara diri dari meminta-minta, yang ternyata ibarat mengumpulkan bara neraka.

Menjaga diri dari sikap meminta-minta bukan hanya berkaitan dengan kehormatan di dunia, juga menyangkut keselamatan dalam kehidupan abadi di akhirat. (F)




Mematahkan Mitos Menikah di Bulan Syawal

Sebelumnya

Menyibak Rahasia Syawal

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur