Foto: Al Jazeera
Foto: Al Jazeera
KOMENTAR

ORANG-ORANG yang trauma di kamp pengungsi Rafah Gaza menceritakan kengerian 'pembunuhan yang ditargetkan' oleh Israel terhadap seorang pejabat senior Jihad Islam.

MMalam teror berlalu di Jalur Gaza selatan ketika serangan pesawat tempur Israel menewaskan seorang komandan senior gerakan Jihad Islam Palestina (PIJ), Khaled Mansour, bersama dengan banyak warga sipil di dekatnya.

Hingga Minggu dini hari, kru pertahanan sipil dan penyelamat terus mengevakuasi jenazah korban tewas dan luka-luka dari bawah reruntuhan kamp pengungsi meski dengan peralatan terbatas.

Menurut petugas medis, tujuh orang tewas dalam pemboman Rafah pada hari Sabtu (6/8/2022), juga 43 lainnya tewas dalam serangan tiga hari Israel, termasuk 15 anak-anak dan empat perempuan. Lebih dari 300 warga Palestina lain terluka.

Proses penyelamatan dipersulit oleh gang-gang sempit di kamp karena jarak rumah-rumah beratap asbes yang rapat.

Ashraf al-Qaisi (46) mengatakan dia tidak berpikir dua kali sebelum mengizinkan buldoser untuk menghancurkan seluruh rumahnya untuk membantu tim penyelamat mencapai tetangganya yang terkubur di bawah puing-puing.

“Ini adalah malam tersulit dalam hidup saya,” kata al-Qaisi.

“Saya sedang duduk di rumah bersama istri dan enam anak saya sampai kami tiba-tiba mendengar suara tembakan, dan sebagian dari langit-langit runtuh. Salah satu putra saya terluka.”

'Cukup sudah'

Al-Qaisi berlari keluar hanya untuk menemukan sejumlah rumah tetangganya telah hancur total oleh pemboman Israel. “Itu adalah saat-saat yang sulit. Darah, bagian tubuh, jeritan di bawah puing-puing, mayat ditarik keluar dan terluka,” kata al-Qaisi.

“Sangat sulit bagi buldoser untuk mencapai rumah yang ditargetkan, jadi saya membiarkan buldoser menghancurkan seluruh rumah saya untuk menyelamatkan tetangga saya di sebelah.”

Meskipun al-Qaisi menganggur dan tidak memiliki penghasilan untuk menghidupi keluarganya, dia mengatakan dia tidak ragu untuk mengizinkan kru penyelamat untuk menghancurkan rumahnya. Menurutnya, situasi saat itu sulit diungkapkan dengan kata-kata dan dia ingin membantu dengan cara apa pun.

“Saya memberi tahu dunia bahwa cukup sudah. Peperangan, pengeboman, dan pembunuhan yang terjadi pada kita sudah cukup. Kami lelah. Kami benar-benar lelah,” kata al-Qaisi sambil menggendong putranya yang terluka, Ahmed.

'Gaza sendirian'

Satu-satunya hal yang bisa dilakukan ambulans adalah menghancurkan rumah al-Qaisi dan sebagian rumah Joudeh untuk membantu mengakses lokasi pengeboman.

“Meskipun saya baru membeli rumah ini tiga bulan lalu, setelah perjuangan panjang untuk menemukan stabilitas, saya tidak ragu untuk membiarkannya dibongkar untuk mencoba menjangkau yang terluka dan mayat di bawah reruntuhan,” kata Joudeh.

Joudeh meminta komunitas internasional dan kemanusiaan untuk menekan Israel untuk menghentikan serangan berulang-ulang di Gaza.

“Gaza sendirian. Kami tidak memulai pertengkaran dengan siapa pun. Kami adalah warga sipil yang hanya ingin hidup damai.”

Tepat di utara Gaza, Najwa Abu Hamada (46) belum pulih dari keterkejutan kehilangan putra tunggalnya, Khalil (19) dalam sebuah pemboman di dekat rumah mereka di kamp pengungsi Jabalia.

Abu Hamada mengatakan dia baru saja makan siang dengan putranya sebelum dia pergi dengan salah satu temannya.

“Kurang dari satu menit setelah dia pergi, saya mendengar ledakan bom yang keras,” kata Abu Hamada.

“Segera saya keluar ke jalan sambil berteriak ‘anakku, anakku!'” ujarnya pedih.

'Kami tidak tahan lagi'




Din Syamsuddin Jadi Pembicara dalam Sidang Grup Strategis Federasi Rusia-Dunia Islam di Kazan

Sebelumnya

Buku “Perdamaian yang Buruk, Perang yang Baik” dan “Buldozer dari Palestina” Karya Teguh Santosa Hadir di Pojok Baca Digital Gedung Dewan Pers

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News