TALIBAN berulang kali mengklaim bahwa mereka mendukung pendidikan bagi perempuan Afghanistan, dengan catatan: selama prosesnya sesuai dengan peraturan Islam yang mereka sepakati.
Namun kenyataannya, hingga saat ini anak perempuan dilarang untuk belajar di sekolah menengah. Sampai saat ini, sudah hampir satu tahun mereka tidak melanjutkan sekolah.
Tak punya ijazah SMA
Juru Bicara Kementerian Pendidikan Tinggi Taliban Maulawi Ahmed Taqi menyatakan bahwa kebijakan Taliban melarang remaja putri belajar di sekolah menengah akan menjadi larangan de facto untuk mereka meraih gelar di universitas.
Anak-anak perempuan, bukan hanya tidak memiliki dokumen yang diperlukan untuk mendaftar ke perguruan tinggi, kapasitas akademik mereka untuk memulai pembelajaran di universitas juga diragukan.
"Secara otomatis, jika kami tidak mempunyai lulusan sekolah menengah, kami juga tidak akan mempunyai mahasiswa perempuan baru," kata Maulawi.
Ia berharap Kementerian Pendidikan akan segera menerbitkan kebijakan untuk membuka kembali sekolah. Larangan pendidikan bagi anak perempuan seharusnya hanya bersifat sementara.
Tanpa ijazah sekolah menengah, siswa di Afghanistan tidak bisa mengikuti Kankor; ujian masuk universitas yang berlaku untuk perguruan tinggi negeri dan swasta.
Taliban tahun lalu tiba-tiba 'meluluskan' siswa perempuan kelas 12 dan membuat mereka memenuhi syarat masuk ke universitas jika mereka mau mendaftar. Namun hingga kini, pemerintah belum menjadwalkan sesi Kankor.
Para siswa perempuan jelas ketinggalan dari siswa laki-laki yang dapat menuntaskan sekolah dan mengikuti ujian akhir kelas 12.
Universitas terancam kehilangan mahasiswi
Para petinggi universitas khawatir tentang ketertinggalan para siswa perempuan meski mereka mungkin saja mengikuti kelas tambahan untuk 'menebus' pembelajaran yang hilang selama berbulan-bulan. Namun siswa yang belum lulus kelas 11 tentu tak bisa masuk ke perguruan tinggi.
Dr. Azizullah Amir, presiden sekaligus pendiri Universitas Moora yang dikhususkan bagi perempuan tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
Ia mendirikan Universitas Moora untuk mendidik tenaga medis perempuan, terinspirasi dari pengalaman pribadinya yang menyesakkan dada. Ibundanya tercinta harus meninggal dunia karena menolak mendapat pertolongan medis dari dokter laki-laki saat mengalami syok sepsis (komplikasi infeksi) di bagian paha.
"Hidup saya hancur setelah kehilangan ibu saya karena infeksi yang sebenarnya bisa dicegah, saya tak mungkin diam saja membiarkan anak-anak lain menjadi yatim piatu karena alasan yang konyol," ujar Dr. Amir.
Di kampus Moora, siswa, guru, staf administrasi hingga tukang kebun semuanya perempuan. Hanya perempuan. Tak heran bila universitas ini menarik siswa dari berbagai belahan Afghanistan, bahkan dari daerah paling konservatif sekalipun.
Namun kini, Dr. Amir khawatir tak akan ada lagi remaja putri yang mendaftar ke universitasnya.
"Jika (larangan) ini berlanjut, tahun depan kita tak punya mahasiswi baru di universitas selain mereka yang sudah masuk lebih dulu di tahun-tahun sebelumnya. Jumlah mahasiswi tentu akan berkurang drastis, mengingat sebagian akan segera lulus."
Sekolah 'bawah tanah'
Menghadapi larangan sekolah tersebut, sejumlah pihak memberanikan diri menggelar kelas online dan kelas 'bawah tanah' yang tergolong ilegal. Namun kelas tersebut hanya bisa diikuti oleh sangat sedikit siswa perempuan.
Karena inisiatif swasta, maka penyelenggaraan sekolah-sekolah tersebut membebankan biaya bagi orangtua. Kelas streaming misalnya, membutuhkan setidaknya ponsel pintar dan paket data yang mumpuni. Ini berarti hanya segelintir keluarga yang bisa mengupayakannya, mengingat kehancuran ekonomi Afghanistan pascaTaliban berkuasa.
Hingga kini, pemerintah masih berusaha mengatur jadwal dan merelokasi bangunan untuk dipergunakan secara khusus oleh siswa perempuan.
Pemisahan jenis kelamin dalam proses pembelajaran bisa dikatakan hampir total meskipun masih ada profesor laki-laki yang mengajar sejumlah kelas perempuan akibat kekurangan tenaga spesialis.
Para dosen di berbagai universitas, termasuk di Universitas Kabul, mengajar mahasiswa laki-laki dan perempuan di kelas yang berbeda. Beberapa kampus juga memisahkan laki-laki dan perempuan dengan sistem sif pagi dan sore.
KOMENTAR ANDA