Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

Setiap perempuan memiliki cinta. Namun, tentunya ada suatu kedahsyatan cinta yang dipersembahkan oleh Khadijah, yang bahkan kematian pun tidak menggoyahkan posisinya di hati suami.

Dari itu pula, kehidupan rumah tangga Khadijah dan Nabi Muhammad menjadi selalu menarik untuk dikupas, tentang bagaimana dua insan tersebut membangun sakinah dalam visi yang agung.

M. Quraish Shihab dalam bukunya Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw. Dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadits Shahih (2011: 288-289) mengungkapkan, Nabi Muhammad dipilih Allah untuk menyampaikan risalah Islam, dan Allah menyiapkan segala sebab untuk sukses dan tersebarnya risalah itu, maka harus melibatkan tangan Tuhan dalam pilihan itu. Karena itu, jawabannya dapat ditemukan di sabda Nabi, “Sungguh aku telah dianugerahi (oleh Allah) cintanya.”

Yakni dianugerahi kemampuan untuk mencintai dan dicintai dengan cinta yang tulus yang menjadikan hatinya dan hati pasangannya tidak lagi dapat menampung sesuatu yang buruk. Itulah arti mawaddah.

Di sinilah ditemukannya titik terang, sakinahnya Rasulullah bersama Khadijah berhubungan dengan cinta tulus yang diridai Tuhan, yang bahkan Allah yang memilihkan Khadijah untuk Nabi Muhammad, sepadan dengan dirinya yang mengemban misi risalah agama.

Apa jadinya jika Nabi Muhammad tidak menikah dengan Khadijah?

Entahlah, kita tidak dapat menyimpulkan sesuatu yang tidak terjadi.

Akan tetapi, kiprah Khadijah dalam perannya di rumah tangga tetapi mampu mendukung visi level tinggi suaminya membuktikan Khadijah bukan perempuan perempuan sembarangan. Dia jelas perempuan pilihan juga.

Kemapanan finansial yang dimiliki tidak membuatnya silau, melainkan mampu memahami kegundahan suami yang sedang mencari jalan yang terang menuju kebenaran Tuhan. Khadijah memberi waktu yang teramat mencukupi bagi suaminya mencerna perbuatan-perbuatan hina dan nista yang diperagakan masyarakat jahiliah. Kesempatan yang teramat luas dipersembahkan Khadijah agar suaminya terus mengasah ketajaman spiritual.

M. Quraish Shihab (2011: 294-295) menerangkan, dengan perkawinan Nabi Muhammad dengan Khadijah maka kehidupan material Nabi Muhammad sudah sangat memadai. Beliau tidak lagi pernah meninggalkan keluarga berlama-lama, apalagi melakukan perjalanan dagang keluar wilayah Mekah. Ini menjadikan beliau memiliki waktu lebih banyak untuk berkonsentrasi dan merenung tentang kehidupan dan maknanya.

Ketika itulah semakin besar keingintahuan beliau tentang kebenaran dan jalan lurus mendekat kepada Allah. Nah, beliau hidup dalam kebimbangan melihat kepercayaan dan tradisi buruk masyarakat jahiliah.

Nah, situasi psikologis inilah yang mendorong beliau ber-tahannuts/menyendiri di Gua Hira guna berusaha menemukan jalan keluar bagi kebingungan yang melanda.

Seandainya kehidupan rumah tangga Nabi tidak diliputi oleh sakinah, niscaya sungguh berat kebingungan itu dipikul. Tetapi keberadaan Khadijah mendampingi beliau, bahkan mempersiapkan segala sesuatu yang beliau butuhkan, menjadikan beban kebingungan itu tidak terlalu berat.

Hanya dalam keluarga yang sakinah Nabi Muhammad dapat menempuh jalan mencapai kebenaran Ilahi. Dan sakinah pun diraihnya bersama Khadijah, istri yang setia mendampingi bahkan ketika risalah Islam itu mendapatkan tantangan yang teramat berat.

 

 

 




Belum Ada Perang Seunik Perang Ahzab

Sebelumnya

Mukjizat Nabi pada Periuk Istri Jabir

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Sirah Nabawiyah