KOMENTAR

Dari MMC, Pak Ros dirujuk ke RS Medistra untuk menjalani kateter. Dari Medistra kemudian pindah ke RS Harapan Kita. Di sini proses observasi dilakukan. Saya dan Marah Sakti kembali menjenguk beliau menjelang tindakan bypass.

Wajahnya sumringah menyambut. Tak tampak kesan gentar menghadapi operasi bedah jantung yang menurut dokter sendiri adalah pilihan terakhir karena itu amat berisiko dilakukan pada orang seusia Pak Ros.

Sumbangannya kepada dunia kedokteran

Presiden SBY melayat ke rumah duka memberi penghormatan terakhir kepada almarhum.
Sewaktu diberi kesempatan memberi sambutan mewakili sahabat Pak Ros di rumah duka - menjelang penyerahan resmi jenazah almarhum kepada negara untuk pemakaman di TMP Kalibata - saya menyinggung itu. Bukan hanya kepada dunia pers, film, teater, sastra, Pak Ros punya kontribusi besar.

Tetapi juga ternyata kepada dunia kedokteran. Sangat boleh jadi Pak Ros adalah pasien pertama berusia 89 tahun yang menjalani operasi bypass jantung di Indonesia. Kabarnya, pilihan terakhir itu diambil dokter karena kondisi Pak Ros memungkinkan. Tapi dewaktu besoek di RS Harapan kita, saya sempat cemas, ketika Pak Ros meminta perawat pribadinya memotret saya bersama beliau.

Saat Pak Ros menjalani operasi, Kamis (24/3), saya tak sempat melepas beliau masuk ruang bedah. Sebab, di hari-hari itu saya menghadapi rangkaian acara ritual menyongsong pernikahan putra saya.

Esoknya,  Jumat (25/4) pagi, dr. Naila, mengirim pesan dari BBM. "Alhamdulillah ayah mulai pulih. Ayah minta kaca mata, dan mau membaca surat kabar". Saya minta dr. Naila mengirimi foto kondisi beliau.

Tidak lama kemudian ponsel saya berdering. Subhanallah, yang mau bicara Pak Ros sendiri. Dia bercerita tentang keberhasilan operasinya. Pak Ros juga menceritakan kesannya yang mendalam karena mantan Presiden RI B.J. Habibie sempat melepasnya masuk ruang bedah waktu mau operasi. Itu kunjungan ketiga Pak Habibie menengok Pak Rosihan.

Bangga menjadi muridnya

Saya mengagumi Pak Rosihan sejak masih kanak-kanak di Makassar, jauh sebelum saya jadi wartawan. Pertemuan sekaligus perkenalan pertama saya dengan beliau terjadi tahun 1977 di Jakarta. Saya baru setahun jadi wartawan di Harian Angkatan Bersenjata ketika diutus untuk mengikuti pendidikan wartawan dalam program Karya Latihan Wartawan PWI yang dipimpin Pak Ros sebagai direktur program tersebut.

Setelah itu, hubungan saya dengan Pak Ros semakin erat. Layaknya sebagai  ayah dan anak, guru dan murid, tempat bertanya. Intensitas pertemuan kami semakin meningkat tak hanya dalam urusan pers, tapi juga dalam dunia film. Ketika saya mendirikan Tabloid C&R, beliau yang pertama menyatakan kesediaan menulis kolom setiap kali terbit.

Tanggal dan bulan kelahiran saya juga sama dengan Pak Ros. Kami sering merayakan ulang tahun bersama. Jika saya menghadapi masalah pribadi, beliaulah orang pertama yang peduli mendengar curahan hati. Begitu pun jika beliau menghadapi hal sama.

Pak Ros telah tiada. Sebelas tahun lalu. Dan Ibu Zuraida dua belas tahun lalu. Semoga Allah SWT senantiasa menjaga kebersamaannya  di tempat yang lapang, nyaman, dan indah di sisi-Nya. Amien.




Bintang Puspayoga: Angka Perkawinan Anak Menurun dalam Tiga Tahun Terakhir

Sebelumnya

Lebih dari 200 Rumah Rusak, Pemerintah Kabupaten Garut Tetapkan Status Tanggap Darurat Bencana Gempa Bumi Selama 14 Hari

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News