Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

PAGI yang terang benderang itu sudah diliputi kesibukan di meja makan. Tuan rumah menyiapkan sarapan buat tamunya. Maka terhidanglah makanan dan minuman dengan cita rasa istimewa. Maklum, sang tamu adalah sosok mulia.

Pembantu yang sedari tadi wara-wiri tak kuasa menahan tanya, “Pak, bukannya itu penceramah tadi malam?”

“Iya,” kata majikannya.

Tentunya pertanyaan itu adalah sindiran halus dari si pembantu. Bukankah tadi malam dia berceramah dengan amat ciamik, eh pagi hari Ramadhan malah sarapan. Apa dunia sudah terbalik?

Keheranannya makin kentara ketika tuan rumah yang sedang berpuasa malah sibuk melayani dan mendampingi tamunya sarapan pagi dengan ceria. Apakah yang sebetulnya terjadi?

Sang majikan pun menerangkan, bapak penceramah itu sudah tua dan mengoleksi sejumlah penyakit. Dia tidak akan kuat berpuasa, berbahaya bagi nyawanya. Apalagi dia harus menempuh perjalanan jauh pulang ke kota asalnya. Salah-salah dia bisa pulang nama jika memaksakan diri berpuasa.    

Logika pembantu itu belum mampu menyerap makna tersuruk dari ucapan dan tindakan majikannya. Dengan bersungut-sungut disiapkannya juga perbekalan makanan bagi sang penceramah.

Jangankan menyaksikan langsung pemandangan macam itu, mendengarnya saja bulu kuduk kita bisa berdiri. Syukur-syukur muncul pula pro kontra, yang semoga memperkaya dimensi nalar kita. Makin banyak yang kontra akan kian menarik pembahasan ini. Ayo!    

Namun, yang tidak dapat dibantah adalah agama Islam melindungi hak-hak mereka yang boleh tidak berpuasa. Ketika kita sedang berpuasa, jangan sampai malah menjadi egois, sehingga tega memangkas hak-hak mereka yang dilindungi Islam. Karena orang-orang tertentu memang mendapat dispensasi tidak berpuasa, dengan pertimbangan kemanusiaan.

Imam Asy-Syafi'i dalam kitab Al-Umm 3 Kitab Induk Fiqih Islam (2016: 308-309) berkata, “Apabila penyakit seseorang yang sedang sakit (dan tetap berpuasa) bertambah parah dengan jelas, maka orang itu boleh tidak berpuasa. Namun, apabila bertambah parahnya penyakit orang itu tidak jelas, dia boleh tidak berbuka puasa.”

“Wanita yang sedang hamil (dan tetap berpuasa) jika khawatir terhadap kondisi anaknya, dia boleh tidak berpuasa. Begitu pula halnya wanita menyusui (dan tetap berpuasa) jika puasa itu dapat membahayakan susunya dengan jelas. Adapun jika semua itu tidak jelas, dia boleh untuk tidak berbuka puasa.”

“Puasa bisa jadi akan memperparah banyak penyakit. Tetapi keparahan itu bisa tidak jelas bentuknya. Sebagaimana puasa juga dapat mengurangi jumlah susu seorang wanita, meski kekurangan itu bisa tidak jelas bentuknya. Apabila kondisi mereka memburuk, mereka boleh berbuka puasa.”

Masih ada lagi lho golongan yang tidak berpuasa, semisal perempuan yang lagi haid, musafir yang melalui perjalanan teramat berat dan muslim yang mendapat keringanan itu dapat menggantinya di hari-hari lain atau membayar fidyah puasa. Selain itu yang tak kalah pentingnya, juga ada kalangan orang-orang nonmuslim yang juga perlu dihormati hak kemanusiaan mereka.

Jangan sampai citra mulia Islam tercoreng oleh umatnya yang memaksa tutup rumah-rumah makan.

Karena kemana pula kalangan nonmuslim, musafir, mereka yang sakit, perempuan hamil, dan lain-lain hendak mencari makanan?

Kalau mau levelnya dinaikkan lebih tinggi lagi, justru mereka yang berpuasa berbagi atau menyediakan makanan bagi mereka yang diperbolehkan oleh agama untuk tidak berpuasa. Sehingga dari kebesaran hati orang-orang yang berpuasa semoga tergambar pula keindahan Ramadhan.   

Rumah makan atau restoran atau apalah itu istilahnya dapat menjadi sumber penghidupan bagi mereka yang butuh makanan pengganjal perut. Apabila kita bersikeras menutup rumah makan dan yang sejenisnya atas alasan berpuasa, maka kita telah membahayakan hak hidup hamba Tuhan lainnya.

Mungkin terlihat ganjil sebuah spanduk yang memajang tulisan; Hormatilah orang-orang yang tidak berpuasa. Namun, spanduk itu dipasang oleh masyarakat di sana atas kesadaran ternyata agama Islam memang melindungi hak-hak hidup manusia keseluruhannya.

Sebetulnya upaya saling hormat menghormati itu juga telah dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak berpuasa, misalnya makan minum secara sembunyi atau yang tidak terlihat oleh khalayak ramai.

Sementara itu rumah makan atau restoran juga memasang tirai penutup sehingga mereka yang lagi berpuasa tidak terganggu dengan kegiatan seru di dalamnya.

Ada lagi kisah yang unik:

Dalam kerentaannya, nenek itu masih saja berpuasa. Namun, selama Ramadhan dirinya justru sibuk mencari kucing-kucing untuk diberi makan. Sungguh aneh tapi nyata!

Nenek itu berkata, “Jangan sampai kucing-kucing itu ikut berpuasa.”

Ya, selama ini kucing-kucing tersebut makan dari pemberian sisa manusia. Malangnya, kucing itu tidak ikut sahur, dan tidak pula mendapatkan jatah makan siang. Orang-orang yang berpuasa tanpa sadar ikut membuat kucing-kucing itu kelaparan.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur