KOMENTAR

KALAU perkara pro kontra, kontroversi, polemik atau apalah itu namanya, sebetulnya kondisi yang demikian tergolong biasa saja di negeri ini. Namun, hal yang menakjubkan bagaimana bisa perdebatan tentang logo halal dalam aroma nan panas itu cukup awet. Begitu serukah sebuah logo?

Terlebih dulu jangan lupa bersyukur, berkat hidup di alam demokrasi ini kita dapat bebas mengomentari atau mengkritisi apa saja dan siapa saja. Namun, awetnya kontroversi logo halal menimbulkan tanda tanya, ada apa di balik ini?

Barangkali, seandainya ya logo halal itu disayembarakan terlebih dahulu, lalu dibahas secara terbuka boleh jadi kontroversi tidak akan seawet begini. Tapi ini hanya barangkali ya!

Di sisi lain, jika dipikir-pikir pro kontra ini lumayan tepat juga waktunya. Lha kok bisa?

Karena andai polemik logo macam begini muncul dahulu kala, dapat membuat suasana makin membara. Maklum saja, kemunculan pertama kali logo halal bermula dari kehebohan kasus lemak babi.

Dulunya belum ada tuh sertifikasi halal, hingga kemudian meledaklah kasus lemak babi dalam produk makanan dan minuman. Demi meredam kemarahan kaum muslimin, pemerintah memberi mandat kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) perihal sertifikasi halal melalui LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia)

Ketika itu logo halal yang melekat pada kemasan masih sederhana saja. Tentu itu pilihan yang baik, mengingat situasi yang panas akan makin membara jika logo saja telah menimbulkan polemik.

Luki Nugroho dalam bukunya Tidak Ada Label Halal MUI Haram? (2018: 31) menyebutkan, pembentukan LPPOM MUI didasarkan atas mandat dari pemerintah/negara agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) berperan aktif dalam meredakan kasus lemak babi di Indonesia pada tahun 1988.

LPPOM MUI didirikan pada tanggal 6 Januari 1989 untuk melakukan pemeriksaan dan sertifikasi halal.

Kini sertifikasi halal pengelolaannya kembali ke pangkuan pemerintah melalui Kementrian Agama diurus oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Semangat baru itu pun ditampilkan pada logo baru. Hasilnya, ya memicu perdebatan yang hingar bingar, seolah tak mau kalah menyaingi jeritan emak-emak yang kehilangan minyak goreng.

Dahulunya logo halal lumayan simple, dengan memakai khat Naskhi. Siapapun yang pernah belajar mengaji, akan bisa dengan mudah mengetahui logo itu menggambarkan sertifikat halalnya.

Kementrian Agama Republik Indonesia telah mengeluarkan logo halal baru, dan langsung memanaskan kontroversi. Ada pihak yang menuduh logo itu ketika dilihat akan terbaca ha ra ma (artinya, haram) atau malah ha la ka (artinya menghancurkan). Apa dasarnya tuduhan itu? Ya, berpangkal dari penglihatan, atau imajinasi, atau mungkin juga prasangka.

Pakar-pakar kaligrafi menyebut logo halal terbaru menggunakan khat Kufi, yang memang lebih artistik dan filosofis. Jadi, kalau ada yang sempat mengalami salah duga ketika melihatnya, ya begitulah potensi yang dapat muncul dari faktor pilihan khat yang artistik filosofis.

Taufik Adnan Amal dalam bukunya Rekonstruksi Sejarah Al-Quran (2013: 141) menerangkan, khat Kufi, dinamakan mengikuti kota Kufah, tempat berkembang dan disempurnakannya kaidah-kaidah penulisan aksara tersebut. Bentuk tulisan ini paling mirip dengan tulisan orang-orang Hirah (Hiri) yang bersumber dari tulisan suryani (siriak). Khat Kufi digunakan ketika itu, antara lain untuk menyalin Al-Qur'an.

Di balik logo yang mengundang hingar bingar ini, tergambar semangat dalam mempopulerkan budaya bangsa, khususnya wayang. Ya, logo itu mirip dengan gunungan dalam pewayangan dengan latar batik lurik.

Bagi sejarah peradaban muslimin Nusantara, wayang memang memiliki tempat tersendiri. Sunan Kalijaga adalah pendalang hebat yang disebut-sebut sebagai pencipta wayang kulit. Wali Songo menggunakan wayang sebagai media dakwah hingga agama Islam menyebar luas dengan cepatnya.

Di lain hal, entah berapa kali rakyat Indonesia marah karena merasa negara tetangga telah memakai atau mengklaim budaya Indonesia. Saking marahnya, sampai-sampai kata ganyang pun diulang-ulang.

Nah, giliran kini identitas budaya Nusantara itu diabadikan dalam logo halal, eh malah di antara kita yang saling ribut. Apakah kelak negara tetangga ada yang memakai logo halal macam begini kita akan ganyang pula?

Logo yang memakai khat Kufi ini memang menonjolkan nilai estetika dan demi menghindari salah paham telah tercantum di bawah logonya tulisan dalam huruf latin: halal. Tapi, kontroversi seperti tak mau henti.

Saran lebih terasa manfaatnya dibandingnya berbagai prasangka. Sebagaimana masukan dari para pakar kaligrafi sebagai pihak yang memiliki  keahlian dapat dipertimbangkan. Seperti ada di antaranya yang menganjurkan logo huruf lebih dirapatkan agar tulisan halal jadi lebih terang.

Dibanding hanya perang air ludah, perdebatan yang konstruktif tentu lebih berharga, semisal menyodorkan model logo alternatif yang tak kalah apik menampilkan identitas budaya Nusantara.

Memang logo halal kali ini beda dengan logo-logo yang lain, tetapi bukankah berbeda itu makanya jadi menarik?




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur