Pada hakikatnya, ihsan adalah menjalin hubungan baik dengan siapa pun, termasuk dengan diri sendiri/ Net
Pada hakikatnya, ihsan adalah menjalin hubungan baik dengan siapa pun, termasuk dengan diri sendiri/ Net
KOMENTAR

AJARAN Islam memuat tiga ajaran pokok yaitu iman, Islam, dan ihsan.

Iman berkaitan dengan hati. Kita tidak pernah tahu apakah seseorang benar-benar beriman atau tidak. Terlebih lagi dalam Alquran ada larangan untuk menyucikan diri dengan mengatakan “saya mukmin”.

Toh, kita boleh jadi mengatakan beriman kepada Allah Swt., tapi benar atau tidaknya tak seorang pun tahu. Keimanan  terletak di dalam hati. Hanya Allah yang mengetahui kebenarannya.

Adapun Islam, ada ‘tanda’ yang terlihat di luar berupa pengamalan. Dari mana kita tahu seseorang itu Muslim? Dari kalimat syahadat yang dia ucapkan dan dari salat yang dia lakukan sesuai tata cara salat umat Islam. Dalam Islam ada syariat yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan dengan sesama manusia. Ada salat, puasa, zakat dalam pengamalannya. Namun dalam menerapkan Islam sesuai syariat, bisa menyebabkan hubungan sesama manusia tidak harmonis.

Contohnya, dalam hukum Islam dikatakan bahwa siapa yang menyakiti kita, boleh kita menyakitinya kembali sesuai apa yang dia perbuat kepada kita. Ketetapan hukum bagi dua pihak yang bersengketa bisa menyenangkan satu pihak saja.

Nah, sesuatu yang mampu menciptakan kondisi saling menyenangkan antara sesama manusia itulah ihsan.

“Nabi Muhammad saat ditanya Malaikat Jibril tentang definisi ihsan, beliau menjawab engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, kalau pun engkau tidak melihat Allah, sesungguhnya Allah melihat engkau,” ujar Prof. Quraish Shihab dalam M.Quraish Shihab Podcast.

Melihat Allah sudah pasti bukan melihat dengan mata kepala tapi bermakna melihat dengan mata hati. Untuk mengetahui apakah sifat-sifat Allah telah membekas di hati kita, setidaknya kita menyadari bahwa Dia selalu melihat kita.

Pada hakikatnya, ihsan adalah menjalin hubungan baik dengan siapa pun, termasuk dengan diri sendiri.

“Ulama merumuskan bahwa ihsan adalah hubungan dengan orang lain dengan cara Anda melihat diri Anda pada sosok manusia yang Anda lihat,” kata Prof. Quraish.

Ia mencontohkan jika ada orang yang kelaparan, jika tidak ihsan maka kita tidak akan peduli karena menganggap orang lain itu bukan siapa-siapa. Tapi ketika dalam diri kita terdapat ihsan, kita melihat orang itu sebagai diri kita sendiri hingga kita akan menolongnya untuk mendapatkan makanan.

Atau ketika ingin memukul orang lain, ihsan membuat kita berpikir bahwa kita tentu tidak ingin dipukul. Maka ihsanlah yang menghentikan kita dari perbuatan menyakiti orang lain.

Jika ihsan merupakan bahasa yang digunakan malaikat Jibril, maka dalam bahasa yang digunakan Nabi Muhammad saw. ihsan adalah akhlak. Dalam bahasa Arab, akhlaq adalah bentuk jamak dari khuluq terhadap Allah, terhadap sesama manusia, terhadap lingkungan, juga terhadap diri sendiri.

Seperti yang dikatakan Nabi Muhammad saw., “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”

Jelaslah bahwa akhlak yang dibawa Nabi Muhammad adalah sesuatu yang lebih mulia dari yang diajarkan para nabi sebelum beliau. Dan alasan mengapa Nabi Muhammad terpilih menjadi Rasulullah adalah karena beliau memiliki akhlak yang mulia, bahkan sejak beliau masih kecil. Salah satu contoh akhlak mulia yang diajarkan Rasulullah adalah memaafkan orang yang telah menyakiti kita.

“Kita bisa menjadikan semua orang senang dengan akhlak yang baik,” tegas Prof. Quraish.
Kata khuluq seakar dengan kata makhluq (yang berwujud, makhluk) yang diciptakan oleh Khaliq. Sesuatu yang memiliki wujud dalam diri kita, itulah akhlak kita.

Kalangan ulama mengatakan bahwa akhlak adalah potensi rohaniah yang melekat wujudnya pada diri manusia, yang membuat seseorang bisa melakukan kegiatannya dengan mudah. Jika wujud itu baik, maka dikatakan akhlaknya baik. Dan jika sesuatu yang berwujud itu buruk, maka akhlaknya buruk.

Akhlak telah menyatu dengan kepribadian seseorang yang membuatnya terbiasa dan mudah melakukan berbagai kegiatan. Ulama membedakan akhlak dengan temperamen. Bisa saja orang yang berakhlak baik tapi memiliki temperamen yang tidak baik.

Jika ingin menyenangkan semua orang, pastikan akhlak kita mencontoh akhlak mulia Rasulullah saw.

 

 

 

 

 




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur