Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

SEPERTI menyelami telaga dengan kesejukannya nan bening, maka begitulah yang dapat kita resapi dari kebahagiaan hidup orang-orang saleh. Mereka menjalani kehidupan bersahaja, akan tetapi rona bahagia itu senantiasa terpancar dari cahaya wajahnya.

Ada yang heran, kok mereka ini dalam kesalehannya menjalani hidup yang tenang, seolah tanpa masalah ketika beban berat menghimpitnya, seperti lancar-lancar saja padahal ujian maupun cobaan menghantam silih berganti.

Berikut ini beberapa rahasia yang dipegang orang-orang saleh dalam meretas jalan bahagia, di antaranya:     

Pertama, menjadikan Allah sebagai tujuan tertinggi.

Para Sahabat Rasulullah adalah generasi yang menorehkan sejarah emas. Mereka yang dahulunya dipandang remeh sebagai bangsa gurun yang liar, kemudian menjelma menjadi kekuatan dahsyat yang menggemparkan dunia.

Kekuatan utama mereka adalah tauhid yang tertancap kokoh di sanubari. Mereka menjadikan Allah sebagai ghayah atau tujuan tertinggi. Ketika mereka telah mencapai posisi mahabatullah (mencintai Allah), seketika berada di posisi tertinggi keimanan itu, maka mereka pun mendekap kebahagiaan yang terindah. Dan tidak ada lagi kejadian di dunia ini yang membuat hati mereka risau.

Khansa adalah perempuan mengagumkan, tentang orang yang menjadikan Allah sebagai tujuan tertinggi. Empat anaknya mati syahid tapi dia masih dapat memetik hakikat bahagia. Kok bisa?

Abdurrahman Umairah dalam buku Wanita-Wanita Dalam Al-Qur'an menerangkan, keempat putranya maju ke medan perang dan mereka terus berjihad hingga semuanya menemui ajalnya dan mati syahid. Ketika kabar kematiannya sampai kepada Khansa, dengan tidak ragu dia berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan mereka.”

Matahari telah tenggelam dan keempat putranya telah meninggalkan dirinya. Namun Khansa tahu bahwa matahari mereka akan baru muncul di ufuk surga. Dia sangat bangga dengan kesyahidan mereka.  

Begitulah, selagi tauhid itu tertanam kuat di hati, maka gerbang kebahagiaan itu terbuka lebar. Karena tauhid akan membuat kita mampu melihat hakikat.

Kedua, mensyukuri karunia Ilahi.

Percayalah! Tanpa syukur akan sulit sekali meraih kebahagiaan. Bahkan, tanpa syukur itu segalanya tampak sukar, semuanya terasa pahit. Padahal kuncinya bagaimana memasang syukur itu dengan tepat.

Abu Dzar hidup dalam kefakiran, tetapi menjalaninya dengan kebahagiaan. Bahkan dirinya bahagia dengan kabar masa depan yang disampaikan Rasulullah terkait kematian dirinya. Adakah orang yang bahagia memperoleh kabar kematian?

Ibnul Jauzi dalam bukunya Al-Wafa menyebutkan, istri Abu Dzar menuturkan di saat menjelang kematian Abu Dzar (suaminya), ia sedih sekali. Abu Dzar pun mencoba untuk menenangkan, “Jangan bersedih. Bergembiralah, karena aku telah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Seseorang di antara kalian sungguh akan meninggal dunia di padang pasir. Kematiannya itu akan disaksikan oleh orang-orang mukmin.”

Ternyata benar, ketika para sahabat menjemput maut di desa atau kota, sementara Abu Dzar malah di padang pasir. Kemudian datanglah rombongan jamaah haji, yang dengan kekuatan iman mereka mengarungi ganasnya padang pasir demi menuaikan rukun Islam ke lima. Dan orang-orang mukmin itulah yang menyelenggarakan jenazah Abu Dzar.

Dalam kondisi itu, Abu Dzar dapat menikmati bahagia menyambut kematiannya. Karena dia mampu bersyukur dapat melalui gerbang penting menuju surga itu sesuai dengan perkataan Rasulullah. Dia menerima keputusan Ilahi sebagai karunia. Luar biasa!  

Ketiga, mentarbiyah diri dan keluarganya.

Dalam Al-Qur’an terdapat surat Lukman. Lelaki saleh ini memang memiliki kepribadian yang kuat, hebat pula dalam mendidik diri dan keluarga dengan nilai-nilai religi yang kokoh.

Pada banyak rangkaian ayat tersirat betapa Lukman amat unggul dalam mentarbiyah keluarganya, terutama anak-anaknya. Dia bukan hanya mampu menjadi orang saleh, tetapi juga mengantarkan keluarganya kepada kebahagiaan dunia akhirat.

Ini poin yang penting dicermati. Kita tidak bisa bahagia sendirian saja. Lagi pula bagaimana kita akan bahagia kalau keluarga berantakan?  

Keempat, memandang baik apapun takdir yang diberikan Tuhan.

Pandangan macam ini tidak sembarang manusia yang dapat menggenggamnya. Karena tidak seorang pun yang dapat mengetahui masa depan, dan kebanyakan manusia pun terburu-buru dalam menilai kejadian saat ini.

Pandemi memang pahit. Tetapi dengan memandang positif, kita dapat melihat takdir yang dijalani ini juga memberi manfaat. Pada tahap awal kita merasakan diri yang kian kuat menjalani hidup. Berikutnya, diri kita pun jadi cerdik bertransformasi mencari jalan keluar dari himpitan masalah.

Dari itulah semangat hijrah itu dikibarkan oleh generasi pertama Islam. Mereka pindah dari takdir di Mekkah menuju takdir di Madinah. Mereka bahagia karena bukan saja mampu ikhlas menerima takdir, tetapi juga mampu mengikuti arah takdir untuk meraih kejayaan dan juga kebahagiaan.




Ketika Maksiat dan Dosa Menjauhkan Kita dari Qiyamul Lail

Sebelumnya

Karena Rasulullah Tak Pernah Melupakan Kebaikan Orang Lain

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur