Dr. Reisa Broto Asmoro/Net
Dr. Reisa Broto Asmoro/Net
KOMENTAR

APA kabar dr Reisa? Yup. Dr. Reisa Broto Asmoro. Saya dan mungkin Anda, juga rindu sapaan lembutnya, di tengah horor penularan virus Covid-19 varian baru yang semakin tidak terkendali terkendali hari-hari ini. Yang kini virus itu malah yang mengendalikan  kita semau- semaunya. Menjadi pembunuh amat keji di tengah masyarakat. Seenaknya mempermalukan negara, menampar muka pejabat tinggi kita, yang diserahi amanah mengendalikan pandemi virus itu mewakili negara.

Simaklah update data harian, Jumat (23/7) kemarin. Dua hari menjelang berakhirnya Perberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Angka kematian di Indonrsia kembali tertinggi di dunia: 1566 jiwa. Virus merenggut nyawa saudara kita seperti cuma memetik buah di kebun.

Kasus positif kemarin, memang turun: 49.072. Turun hanya sedikit dibandingkan hari sebelumnya. Tapi angka testingnya juga turun lagi dibandingkan hari sebelumnya.

Apa hubungannya dengan dr. Reisa Broto Asmoro? Saya cuma berimajinasi saja. Seandainya dia masih tampil setiap sore di layar televisi nasional, ada yang membuat kita nyaman, hati tenang menyaksikan dia.

Tinimbang, mengikuti perdebatan di berbagai media yang atmosfirnya dipenuhi benci dan dengki.

Apalagi kalau yang bicara Ali Mochtar Ngabalin. Waduh. Heran. Presiden Jokowi masih mempertahankan dia berkomunikasi dengan khalayak luas. Ada teman sampai bilang, andaikata layar tivinya terbuat dari kardus mungkin sudah berkali-kali kena lempar sendal.

Kita rindu dr. Reisa. Meski suaranya cempreng dan kurang lentur tapi wanita jelita itu bertutur kata lembut menyampaikan update harian kasus Covid1-9. Tak banyak wanita secantik Reisa, yang istri kita juga  nyaman tiap kali menonton bersama-sana ibu dua anak itu di televisi. Entah kenapa dokter dan model ini distop pemunculannya tempo hari bersama dr. Ahmad Yurianto.

Padahal, pemunculan mantan runner up Puteri Indonesia itu sungguh menjadi oase yang sejuk di tengah situasi  pandemi. Yang menyeret kita berimajinasi seperti berada di padang tandus.

Kita memang masih bisa melihatnya  tiap saat. Melongok aktifitasnya sehari-hari di berbagai media sosial dan Instagram pribadinya. Sekali-sekali. Cukup. Jika sering, berbahaya. Bisa menjadi horor baru pula.

Kemungkinan  istri akan bertindak menganggap kita sinting. Bisa “di-BAP”  berhari-hari, meminjam istilah sejawat Suryopratomo, Dubes RI di Singapura.

Atas bantuan Pemred Kumparan, sejawat Arifin Asydhad, saya memperoleh kontak dr. Reisa. Saat menulis ini saya sudah mengiriminya pesan minta waktu mewawancarai dia. Namun, belum dijawab. Mungkin sibuk. Baik kita lanjut lagi.

Hari-hari Tak Menentu

Sejak kasus positif Covid-19 1 dan 2 di tanah air diumumkan Presiden Jokowi pada 2 Maret 2020, praktis sejak itulah hari-hari kita tak menentu. Padahal, pemerintah sudah berusaha keras, berbagai sumber daya telah dikerahkan untuk mengendalikan penyebaran Covid-19 di tanah air.

Upaya pemerintah sudah diwujudkan pula dengan berganti judul-judul penanganan, seperti PSBB dengan pelbagai turunannya. Juga PPKM dengan berbagai tingkatannya. Dari PPKM biasa, PPKM Mikro, PPKM Darurat, dan ganti lagi mulai  26 Juli nanti menjadi PPKM Level 3 dan 4.  PPKM nama baru belum berjalan, belum bisa kita nilai. Namun, sebelumnya, belum ada yang betul-betul jitu mengendalikan Covid-19.

Yang paling parah PPKM Darutat. Implementasi sudah serupa lockdown, namun pemerintah tidak menyertai kebijakan pemberian biaya hidup standar kepada masyarakat terdampak. Seperti yang diamanatkan UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Khususnya Pasal 55 Ayat 1 yang mengatur pembatasan masyarakat dalam masa pandemi.

UU itu produk terbaru  yang ditanda tandatangani Presiden Jokowi tiga tahun lalu.

Akibatnya, setiap hari, selama berlaku PPKM Darurat dari tanggal 3 sampai 20 Juli, penumpukan massa besar terjadi di tempat penyekatan, di mana-mana. Konflik fisik tak terelakkan antara rakyat yang lapar versus petugas yang menjalankan tugas menyekat. Kuat dugaan kerumunan di tempat-tempat itulah yang melahirkan klaster baru yang mengerek angka positif melesat seperti roket. Juga angka kematian. Nyawa seperti melayang sia-sia.

Bersyukur, Presiden cepat tanggap. Tanggal 20 Juli lalu jokowi mengumumkan segera menyalurkan bantuan sosial kepada masyarakat terdampak. Nominalnya cukup besar sekitar Rp 55 T. Biarpun terlambat, tetapi bantuan sosial itu sekaligus pernyataan kehadiran negara. Semoga seutuhnya tiba di tangan rakyat.

Ikhtiar

Kita memang tidak boleh berhenti berikhtiar selain terus menerus memanjatkan doa perlindungan dari Allah SWT, Tuhan pemilik alam semesta.

Sekarang, saya mau sampaikan usulan baru kepada Presiden Jokowi. Sebagai ikhtiar baru. Yaitu agar menyerahkan komando penanganan Covid-19 kepada Ahli Kesehatan. Biarlah mereka yang menangani bencana kesehatan ini.

Menggantikan para pejabat negara yang sudah tujuhbelas bulan bertugas menangani pandemi ini. Mungkin juga sudah lelah. Merangkap-rangkap demikian banyak jabatan. Kembalikan para menteri itu ke posnya masing-masing mengurus kementeriannya sesuai keahlian masing-masing.

Komando penanganan Covid-19 yang seluruhnya menteri ekonomi, anggap saja belum beruntung untuk menghindari kata gagal. Harap kita berkaca pada kasus Singapura. Baca: Berkaca Pada Kasus Singapura, Hati-Hati Melonggarkan PPKM  di Tanah Air edisi Jumat, 23 April.

Negara kecil, berpenduduk kecil, rakyat yang tingkat ekonomi serta kepatuhannya tinggi, toh bisa berantakan dalam sekejap. Lantaran apa? Karena ada rakyatnya egois membuka klub karaoke yang sudah dinyatakan tertutup oleh pemerintahnya. Pengusaha KTV adalah represntasi dari masyarakat yang memperturutkan syahwat ekonomi dengan mengabaikan keselamatan jiwa warga yang lain.

Toh, tidak ada data yang menunjuk perbaikan perekonomian kita selama komando penanganan Covid-19 ditangani menteri perekonomian. Malah, yah sudahlah. Ada yang malah sibuk berkampanye mengincar kursi Presiden 2024. Ada yang memanfaatkan pandemi untuk mengeruk keuntungan, sebagaimana dilansir banyak media pers. Presiden sendiri baru-baru ini menghentikan praktek penjualan vaksin kepada masyarakat umum. Itu salah satu akibatnya.

Peran Pemuka Agama

Saya mengusulkan sebaiknya pemerintah melibatkan pemimpin agama, semua agama, juga. Mendampingi para ahli kesehatan memegang komando untuk berkomunikasi dengan masyarakat.

Kita tidak boleh ahistoris. Pemimpin agama, pemimpin tradisional kita punya peran  besar dalam sejarah Indonesia. Sebelum maupun sesudah kemerdekaan RI. Peran ulama itulah yang berhasil mempersatukan bangsa kita. Sumpah Pemuda, Proklamasi RI, dan penyusunan konstitusi UUD 1945 didominasi pemimpin agama. Perbedaan besar dalam pembukaan UUD 1945 saja pun bisa selesai atas kesepakatan pemimpin agama.

Problem terbesar kita, rakyat yang mula-mula bingung kini tak percaya bahkan membangkang kebijakan pemerintah. Unjuk rasa kembali merebak dimana-mana. Lihat juga video-video yang beredar di masyarakat. Banyak menampilkan kelompok pengajian, dengan ustaz-ustaznya menentang PPKM  Darurat yang sempat menutup masjid.

Mereka tidak bisa terima itu. Libatkan mereka. Suara mereka umumnya masih didengar oleh masyarakat tradisional.

Supaya segera berakhir narasi miring, tiap kali LBP bicara keras (maklumlah orang Batak), direspons ngeyel oleh masyarakat: “Kepala, pundak, Luhut lagi, Luhut lagi…,” menirukan nyanyian populer.

Kembali ke dr Reisa.

Presenter Dr Oz Indonesia di TransTV itu sudah merespons WA. Setuju saya wawancarai pagi ini. Tapi pas sudah deadline. Nanti akan ditulis tersendiri lagi hasilnya.

Bayangkan kalau penanganan Covid-19 oleh Pakar Kesehatan kita berkolaborasi dengan para ulama, dan Reisa kembali menyapa tiap sore di layar televisi kita. Dan, pas pula pandemi sudah mulai terkendali.




Rakerkesnas 2024, Presiden: Indonesia Harus Bisa Manfaatkan Bonus Demografi

Sebelumnya

Tak Lagi Berstatus Ibu Kota, Jakarta Siap Melesat Jadi Pusat Perdagangan Dunia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News