Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

MASYARAKAT dituntut untuk memperkaya wawasan seputar Covid-19 melalui referensi terpercaya. Perhatikan baik-baik sumber informasi, pastikan berasal dari lembaga atau pejabat yang berwenang untuk mengeluarkan pernyataan resmi.

Pandemi Covid-19 menjadi pengalaman pertama bagi semua orang di dunia. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pernah mengatakan bahwa tidak satu pemerintah negara di dunia yang mempunyai prosedur untuk mengatasi Covid-19. Karena itulah yang dilakukan pemerintah adalah berusaha sambil tetap berkoordinasi dengan WHO untuk penanganan pandemi.

Karena virus corona tergolong varian baru, tidak bisa dihindari adanya penemuan-penemuan baru dari hari ke hari. Sehingga wajar saja bila kebijakan pemerintah dalam urusan pandemi berkembang dengan cepat, seolah berubah-ubah.

Protokol Kesehatan, Sekarang Untuk Selamanya?
Satu hal yang dijadikan peraturan baku selama pandemi adalah protokol kesehatan 3M yang diberlakukan di seluruh dunia. Protokol tersebut tidak pernah berubah karena menjadi faktor terpenting untuk menghindari penyebaran Covid-19. Bahkan berkembang wacana bahwa 3M akan tetap diperlukan meskipun pandemi sudah berakhir.

Perkembangan pengetahuan, informasi, dan pengalaman seputar Covid-19 bisa dilihat dalam hal gejala. Saat ini, masyarakat bisa dibilang ‘kewalahan’ dan semakin khawatir dengan makin banyaknya gejala Covid-19. Apalagi jumlah OTG juga semakin banyak.

Jika dulu kita hanya perlu was-was saat suhu tubuh tinggi, batuk kering, dan sesak napas, kini ketakutan kita seolah tanpa batas. Mulai dari ruam kulit, kehilangan indera penciuman, diare, hingga nyeri sendi, semua bisa menjadi gejala Covid-19.

Sekali lagi, di sinilah urgensi masyarakat untuk rutin meng-update pengetahuan seputar pandemi melalui saluran informasi yang kredibel. Termasuk juga informasi seputar obat-obatan dan vitamin yang diperlukan, serta seputar tindakan cepat tanggap yang harus dilakukan jika kita atau orang-orang terdekat terpapar Covid-19.

Polemik Vaksin, Lagi dan Lagi
Urusan penanganan Covid-19 yang tak kalah dihinggapi polemik adalah vaksin. Kita banyak membaca pro-kontra seputar perlu tidaknya vaksin untuk menghadapi virus corona. Polemik juga mencuat mengomentari negara-negara produsen vaksin dan pembelian vaksin.

Polemik berlanjut pada aman-tidaknya vaksin juga siapa saja yang tidak dibolehkan untuk mendapat vaksin. Ada penyakit-penyakit tertentu yang penderitanya tidak dibolehkan disuntik vaksin Covid-19.

Tapi kemudian muncul informasi bahwa penderita penyakit tertentu yang terkendali, semisal diabetes, tetap bisa divaksin. Hal itu kembali memunculkan pertanyaan: apa kriteria penyakit terkendali?

Lalu muncul satu per satu berita tentang kekurangan vaksin. Ada berita tentang tingkat efektivitas vaksin Sinovac di Brazil turun menjadi 50,4% dalam waktu satu minggu. Ada pula berita tentang dampak buruk vaksin Pfizer-BioNTech pada penderita alergi di Inggris, Amerika, hingga Norwegia—yang berujung kematian. Ditambah lagi berita kematian lansia setelah penyuntikan vaksin.

Kita bisa saja mengatakan ada yang salah dengan vaksin. Tapi ilmuwan yang merumuskan vaksin tentu telah berusaha sekeras mungkin menghasilkan formula yang efektif membunuh virus corona tanpa membahayakan nyawa. Di situlah pentingnya tiga tahap uji klinis yang harus ditempuh sebelum vaksin dinyatakan aman.

Artinya, karena pandemi Covid-19 adalah pengalaman pertama, penyuntikan vaksin harus benar-benar didasarkan pada data dan fakta yang valid tentang calon penerimanya. Perhatikan baik-baik apakah kita termasuk dalam kelompok orang yang tidak boleh menerima vaksin. Saat screening pravaksinasi oleh tenaga kesehatan, jujurlah dengan kondisi tubuh kita.

Nama anggota PDI-P yang juga anggota DPR RI Ribka Tjiptaning mendadak viral lantaran menolak keras vaksin. Lebih baik membayar denda jutaan rupiah daripada ia dan keluarga dipaksa vaksin, begitu komentar Ribka. Ia menilai vaksin tidak efektif dan pemerintah hanya menjadikan vaksin sebagai ladang bisnis. Ribka mencontohkan kasus vaksin polio dan vaksin kaki gajah yang ia nilai gagal.

Jika ditelusuri, kasus gagalnya dua vaksin tersebut sangat kecil jumlahnya dibandingkan kesuksesan vaksin polio dan vaksin kaki gajah secara global. Dan seperti banyak kasus vaksin Covid-19, dampak buruk vaksin polio dan kaki gajah timbul karena penerima vaksin tidak mematuhi ketentuan yang berlaku—yaitu tentang larangan vaksin bagi penderita kondisi tertentu.

Percepatan Vaksinasi
Masih tentang vaksin, banyak negara sudah memulai vaksinasi massal, termasuk Indonesia. Sayangnya, di hari pertama vaksinasi sudah muncul polemik. Ada nama Raffi Ahmad yang namanya digugat advokat David Tobing dengan alasan “sangat disayangkan seorang tokoh publik dan influencer terkemuka yang diberi kepercayaan oleh negara tapi tidak menghargainya, tidak memberi contoh baik untuk masyarakat yang melihat gerak-geriknya.”

Di luar polemik Raffi, para ahli kesehatan di dunia menjawab pertanyaan tentang seberapa efektifnya vaksin dosis pertama. Mengutip BBC, para ahli mengatakan “pretend it didn’t happen” setelah mendapat vaksin pertama. Secara sederhana, kita bisa mengatakan bahwa vaksin pertama tidak berefek apa pun terhadap kekuatan kita menghadapi Covid-19.

Hal itu serupa dengan vaksin MMR yang diberikan kepada bayi untuk mencegah infeksi gondong, campak, dan rubella. Sebanyak 40% orang yang mendapat hanya satu kali vaksin tidak terlindungi dari ketiga virus tersebut dibandingkan 4% mereka yang telah dua kali disuntik vaksin MMR.

Terakhir, polemik seputar vaksin juga mencuat dari wacana vaksinasi mandiri. Wacana tersebut diajukan para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Kadin meminta pemerintah membuka akses vaksinasi mandiri untuk sektor swasta dengan tujuan mempercepat pemulihan ekonomi.

Menurut Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P. Roeslani, pihak swasta ingin berpartisipasi untuk mempercepat distribusi vaksin. Tak hanya mempercepat, akses vaksinasi mandiri menurutnya juga membantu mengurangi beban APBN.

Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, pihaknya sedang mempertimbangkan permintaan tersebut. Menkes memastikan bahwa pemerintah tetap bertanggung jawab menyediakan vaksin gratis bagi seluruh rakyat Indonesia meskipun nantinya akses vaksinasi mandiri dibuka untuk korporasi.

Menkes juga menegaskan vaksinasi mandiri jangan sampai memunculkan anggapan bahwa orang kaya akan mendapat vaksin duluan.

Ada polemik apalagi setelah ini? Yuk, jadi masyarakat cerdas yang tetap tenang dan bijak mengikuti perkembangan pandemi.

 




Tak Lagi Berstatus Ibu Kota, Jakarta Siap Melesat Jadi Pusat Perdagangan Dunia

Sebelumnya

BMKG: Hujan Intensitas Ringan Hingga Lebat Berpotensi Guyur Sebagian Besar Wilayah di Indonesia Sepanjang Hari

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News