Sesungguhnya tidak ada takdir Tuhan yang buruk di mata seorang hamba yang pandai bersyukur/ Net
Sesungguhnya tidak ada takdir Tuhan yang buruk di mata seorang hamba yang pandai bersyukur/ Net
KOMENTAR

SELEMBAR surat itu membuat airmata khalifah Umar bin Khattab bercucuran. Syam dan sekitarnya dilanda wabah mengerikan, dalam sekejap puluhan ribu nyawa melayang.

Sang khalifah ingin menyelamatkan sahabat baiknya Abu Ubaidah bin Jarrah, yang sejatinya dipersiapkan untuk menjadi khalifah berikutnya. Dia lelaki saleh yang disukai banyak orang atas kepribadian luhurnya.

Syaikh Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi dalam bukunya Sirah Sahabat (Hayatush Shahabah) mengabadikan balasan suratnya: “Saat ini aku berada di tengah pasukan muslimin dan aku tidak ingin meninggalkan mereka sama sekali. Sementara aku sudah tahu apa yang engkau inginkan, bahwa engkau ingin mempertahankan kehidupan orang-orang yang sebenarnya sudah berat untuk hidup. Jika suratku ini sudah engkau terima, maka bebaskanlah aku dari keinginanmu itu dan izinkan aku untuk tetap berada di tempat."

Panglima Abu Ubaidah bin Jarrah datang bersama laskar muslimin untuk membebaskan negeri Syam dari penjajahan Romawi. Kini, dengan adanya wabah mematikan, ia pun tidak mau lari dari tanggung jawab sebagai pemimpin.

Apa yang telah terjadi ataupun apa yang akan terjadi, dipandangnya sebagai anugerah dari Allah. Abu Ubaidah tidak akan meninggalkan tanggung jawab sebagai pemimpin sejati. Karena, begitu dirinya mementingkan urusan pribadi, citra negara Islam akan tercoreng di mata penduduk Syam yang kebanyakan baru saja menjadi muslim.

Khalifah Umar bersegera mengirim lagi sepucuk surat, isinya meminta Abu Ubaidah membawa orang-orang mengungsi ke pegunungan menghindari wabah mematikan itu. sayangnya, wabah itu menyebar lebih cepat daripada sepucuk surat yang berangkat dari Madinah.

Dari 30.000 orang pasukan muslimin hanya 6.000 orang saja yang masih tersisa hidup, dan Abu Ubaidah termasuk yang mati syahid memeluk rasa syukurnya atas takdir Tuhan.

Akibat wafat diterkam wabah, Abu Ubaidah bin Jarrah gagal menorehkan namanya sebagai khalifah dalam sejarah Islam, tetapi namanya terukir sebagai pahlawan sejati yang ikhlas berjuang membela rakyat hingga titik nafas penghabisan.

Kecemasan Umar bin Khattab tidak menyurutkan langkahnya terjun langsung menolong para korban. Dengan meninggal dunia akibat dihantam wabah, Abu Ubadah tidak berkesempatan memperpanjang kehidupannya di dunia, tetapi dirinya memperoleh kehidupan abadi di surga.  

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam buku Uddatush Shabirin menerangkan, kehidupan terbaik diraih oleh orang-orang yang bahagia karena kesabarannya dan mereka mencapai kedudukan tertinggi melalui rasa syukur mereka.

Maka mereka terbang dengan dua sayap sabar dan syukur menuju surga-surga yang penuh kenikmatan. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan  Allah memiliki karunia yang sangat besar.
    
Orang-orang menyebutnya dengan istilah keren; jangan lupa menikmati hidup. Sejatinya kehidupan kita itu adalah yang saat ini, ketika kita masih bernafas dengan baik. Selanjutnya kita tidak tahu lagi apa yang akan menimpa, bisa saja masih bernyawa atau malah ikut meninggalkan dunia.

Segala misteri dalam kehidupan ini kita nikmati dengan rasa syukur, karena sesungguhnya tidak ada takdir Tuhan yang buruk di mata seorang hamba yang pandai bersyukur. Apapun yang telah terjadi, dan apapun yang akan menimpa tidak akan mengurangi kebahagiaan di hati yang bersyukur. Sebab Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya.

Dalam dunia sufistik yang senantiasa berselimutkan keindahan batin, tersohorlah nama seorang sufi perempuan, yaitu Rabiah al-Adawiyah. Mahabbah atau mazhab cinta merupakan aliran sufistik yang dipopulerkan oleh dirinya.

Rabiah mengajarkan pola hubungan cinta antara makhluk dengan Khaliq-Nya. Manusia mencintai Tuhan-Nya dan Allah mencintai makhluk ciptaan-Nya. Dengan pola hubungan saling mencintai inilah, yang memunculkan prasangka baik bahkan rasa syukur yang menghunjam ke lubuk sanubari.

Ada sebuah contoh sederhana, apa reaksi seorang perempuan dicubit oleh lelaki lain? Ya, mudah ditebak. Perempuan itu akan murka, meledak amarahnya, mungkin juga menuntut di jalur hukum atas pasal perbuatan tidak mengenakkan atau barangkali sekalian pasal pelecehan.
    
Bagaimana kalau yang mencubit itu suami tercinta? Tiba-tiba, ceritanya jadi berubah, jadi syahdu, membuatnya tersipu-sipu manja dan berharap dicubit-cubit lagi. Kenapa? Karena perempuan itu berikut dengan suaminya menafsirkan cubitan dalam perspektif cinta.

Itulah yang menjadi kelebihan Rabiah al-Adaiyah dibanding sufi-sufi terkenal lainnya. Dia mengajarkan cinta, sehingga apapun takdir yang diberikan Tuhan dan apapun yang akan ditakdirkannya di masa depan, maka sesungguhnya semua itu baik.

Dalam pemahaman yang gemilang ini, pamor Rabiah al-Adaiyah pun menjulang. Saran atau pun tegurannya diterima baik oleh tokoh-tokoh sufi lainnya. Sebagaimana Rabiah al-Adawiyah pernah mengingatkan Sufyan ats-Tsauri yang berdoa meminta rida Allah. Rabiah mengatakan,

“Tidakkah kamu malu meminta Allah rida kepadamu, sementara kamu sendiri tidak rida kepada-Nya.” Sufyan pun menyadari kekhilafannya dan beristighfar kepada Allah.

Inilah kuncinya, kita harus rida apapun yang ditakdirkan Allah dan apa yang akan ditakdirkan-Nya. Dengan demikian, akan mudah bagi kita menjadi insan yang bersyukur.

 




Dunia Adalah Ujian: Menjaga Keseimbangan Emosi di Tengah Badai Kehidupan

Sebelumnya

Ingat Akhiratmu, Maka Duniamu Terasa Mudah

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur