Foto : Disway
Foto : Disway
KOMENTAR

Kami --dari Medan, Padang, Palembang, Bandung, Surabaya, Bali, Makassar, Banjarmasin, Mataram dan Samarinda-- diasramakan di Wisma Seni, Taman Ismail Marzuki.

Malam hari kami dididik teori jurnalistik. Tempatnya di kantor LP3ES --saat itu di Jalan Jambu, Jakarta. Dari TIM kami berjalan kaki ke tempat pendidikan itu.

Pengajar jurnalistiknya Amir Daud --wartawan senior saat itu. Kami diawasi dari malam ke malam. Sesekali pimpinan tertinggi LP3ES meninjau kami: Nono Anwar Makarim (ayahanda Mendikbud sekarang) dan wakilnya, Ismet Hadad.

Siang hari kami disebar ke tempat praktik: dititipkan di koran-koran nasional. Siapa-magang-di-mana ditentukan lewat undian.

Sebelum undian saya berdoa keras: semoga dapat tempat magang di harian Kompas. Itulah koran paling bergengsi saat itu. Koran terbesar di Indonesia.

Kalaupun meleset, semoga di majalah TEMPO.

Ada doa tambahan: semoga jangan mendapat undian di harian PosKota. Yang terkenal sebagai spesialisasi berita kriminal.

Kompas dan TEMPO adalah bacaan saya setiap hari di Samarinda. Tiap habis maghrib saya ke agen koran: tidak sabar mendapat koran keesokan harinya.

Saya begitu mengidolakan wartawan-wartawan Kompas seperti Emmanuel Subangun dan Parakitri Simbolon. Saya hafal semua nama redaktur TEMPO dan wartawannya.

Nama seperti Salim Said, Syu'bah Asa, Putu Wijaya, George Yunus Adicondro hafal lengkap dengan foto wajah mereka. Apalagi unsur pimpinannya: saya dewakan.

Dan saya mendapat undian di Majalah TEMPO --alhamdulillah. Kantornya masih di Jalan Senin Raya 83. Di lantai atas sebuah toko.

Di TEMPO saya hanya akan 1,5 bulan. Akan ada rotasi. Saya harus pindah ke media lain. Diundi lagi.

Saya berdoa keras lagi: agar mendapat tempat di Kompas. Pokoknya jangan sampai di PosKota.

Arselan Harahap datang ke TEMPO. Untuk menjemput saya. Waktu magang di situ sudah habis.

Tiba-tiba Arselan marah sekali. "Anda tidak boleh dipindah dari TEMPO," ujarnya. "Pimpinan TEMPO minta agar Anda tetap di sini," tambahnya. "Ini merusak program LP3ES," gerutunya.

Saya diam saja.

Dalam hati saya senang sekali.

Hari berikutnya saya diberitahu oleh pimpinan redaksi TEMPO. "Saya minta Anda tetap di TEMPO," ujar Bur Rasuanto --nama aslinya Burhanuddin Rasuan. Rasuan adalah nama kampungnya di Ogan Komiring Ulu, Sumsel.

Bur adalah sastrawan besar. Novelnya, Tuyet, saya baca dua kali. Ia-lah yang menciptakan kata 'santai' menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia. Konon kata itu ia comot dari bahasa di daerahnya.

Di masa tuanya almarhum Mas Bur --begitu saya memanggilnya-- menjadi dosen filsafat di Universitas Indonesia.

Senin lalu saya bertemu kembali dengan Arselan Harahap. Lewat Zoom. Masih bekerja untuk LP3ES. Lagi menyelesaikan buku tentang Bung Hatta.

Wajahnya masih sangat segar. Gaya Jogja-nya masih sangat lembut --ia alumnus Universitas Gajah Mada.


"Dahlan, Anda berkhianat dua kali," ujarnya sambil tertawa ngakak.

 Yang satunya apa ya?

"Berdasarkan kontrak, Anda harus kembali ke Samarinda. Untuk memajukan koran di Kaltim," katanya.




Cerita Pengalaman Vloger asal China Menginap di Hotel Super Murah Hemat Bajet

Sebelumnya

Muara Yusuf

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Disway