KOMENTAR

“SAYA membawa apa saja, Pepo?”

Beberapa hari sebelum hijrah ke istana, tiba-tiba saja saya menjadi sangat galau. Kami berdua ada di kamar. Iya, ya. Baru saya ingat, kami harus mengangkut apa? Apakah tinggal di istana artinya kami harus mengangkut barang-barang macam orang pindahan rumah? Atau bagaimana?

Saya tidak tahu apakah di istana ada perangkat yang biasa digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Jadi, pertanyaan itu saya lontarkan.

Saya membuka lemari dan menatap tumpukan pakaian serta beberapa tas. Saya tahu dan pernah masuk ke istana. Setahu saya, tak ada perabotan yang beraroma “pribadi” di sana. Yang terlihat adalah benda-benda koleksi istana dan kebanyakan sangat tua. Barang-barang antik.

Nanar, pikiran saya berlari pada benda-benda pribadi di rumah, peralatan masak, meja rias, sofa nyaman untuk membaca buku. Saya akan berpisah dengan mereka.

“Pakaian saja, Mo, dan alat-alat kecil pribadi kita. Di istana, segalanya telah disiapkan. Kita tidak akan kesulitan melakukan kegiatan sehari-hari...” SBY menjawab dengan tenang.

Ia sungguh fokus pada logika. Ya, kami pasti tidak akan kesulitan melakukan kegiatan sehari-hari.

“Ada ajudan, pelayan, juru masak, protokol, ada petugas dengan fungsi masing-masing. Tenanglah...”

Ini sebuah tuntutan adaptasi lagi. Adaptasi yang tidak ringan.

Dan begitulah. Usai pelantikan SBY dan JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI yang baru di bulan Oktober 2004, SBY dan saya menyempatkan diri menyambangi Istana Merdeka dan Istana Negara, serta melihat-lihat seluruh ruangan di dalamnya.

Pihak Sekretariat Presiden menemani dan memberi petunjuk kepada kami. Sepanjang kunjungan itu pikiran saya terus berkecamuk. Membayangkan saya akan tinggal di sana.

“Siap Memo tinggal di istana?”

Saya menghela napas. “Jawabanku selalu siap, Po.”

Rasa haru menyelinap. Saya akan menghuni sebuah tempat dengan nilai sejarah yang begitu tinggi. Bahkan, saya juga akan menjadi bagian dari sejarah di dalam istana ini.

SBY memandang saya dengan senyum. Ini rumah kami selama lima tahun ke depan. Saya menebarkan pandangan ke Ruang Resepsi, sebuah hall yang sangat besar dan megah yang berada dekat dengan kamar tidur kami, dipisahkan oleh lorong yang tertutup dinding dan pintu.

Inilah pemandangan yang akan menyambut kami setiap pagi. Bukan dapur mungil yang selalu riuh dengan celotehan juru masak dan menebarkan harum uap masakan atau perpustakaan SBY yang sesak oleh buku-buku di Cikeas.

Tapi pilar-pilar gaya Yunani yang megah, lukisan-lukisan antik bernilai tinggi, perabotan yang sebagian berusia lebih dari satu abad, permadani merah tua yang membentang, dan langit-langit ruang yang begitu jauh di atas kepala.

“Sudah siap ya, Mo. Kita akan sama-sama berjuang dari tempat ini….” SBY meraih jemari saya.

“Kita harus bisa beradaptasi dengan cepat di sini.”

Saya mengangguk. Mata tiba-tiba terasa hangat.

SBY memandang saya dengan hangat. Mengusap pipi saya yang basah.

“Selamat datang, Ibu Negara...”

Ia tersenyum teduh.




Rakerkesnas 2024, Presiden: Indonesia Harus Bisa Manfaatkan Bonus Demografi

Sebelumnya

Tak Lagi Berstatus Ibu Kota, Jakarta Siap Melesat Jadi Pusat Perdagangan Dunia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News