Tara Westover
Tara Westover
KOMENTAR

Dari latihan tari itulah Tara ikut paduan suara gereja. Di situlah ayahnya tahu: Tara membuat dadanya bangga. Anaknya tampil di grup nyanyi gereja.

Lalu Tara mendapat tawaran menjadi penyanyi di paduan suara tingkat kota. Dia menjadi penyanyi solonya. Dia pun terpilih saat akan ada acara besar. Tapi harus latihan lebih intensif. Berarti harus sering meninggalkan rumah. Kadang malam hari. Tidak mungkin. Tidak akan diizinkan.

Setelah berbagai rayuan akhirnya ayahnya mengizinkan. Harus didampingi sang ibu. Ibunya juga kesenangan.

Waktu tiba hari pementasan sang ayah ternyata ingin menyaksikan. Diam-diam. Tahu-tahu sang ayah antre di loket karcis. Duduk di deretan kursi paling depan pula.

Saat Tara tampil di panggung matanya sering curi-curi wajah ayahnya. Tapi suara Tara memang hebat. Selesai pertunjukan Tara sudah siap akan diapakan saja oleh ayahnya. Ternyata ayahnya memujinya. Merangkulnya. Dan memberikan beberapa saran.

Tahun berikutnya, saat Tara umur 17 tahun, dia berani kan minta izin ayahnya: sekolah. Reaksi pertama sang ayah sangat marah. Dianggap akan melawan Tuhan. Akan menjadi kafir. Akan menjadi sosialis.

Tapi akhirnya sang ayah mengizinkan. Hanya saja sang ayah tidak akan memberi uang sepeser pun. Ayahnya mengira umur Tara sudah 18 tahun. Sudah di luar tanggungjawabnya. Tapi Tara tidak risau. Dia punya tabungan dari kerja diam-diamnya.

Waktu wisuda ayahnya tidak mau datang. Padahal anaknya juara. Sang ayah melihat anaknya sudah tersesat terlalu jauh.

Waktu Tara mendapat beasiswa ke Inggris ayahnya semakin no hope. Leluhurnya dulu meninggalkan Eropa untuk menghindari dosa. Kok malah anaknya akan sekolah di pusat dosa.

Padahal beasiswa itu dari universitas terbaik di dunia: Cambridge University. London.

Tara sendiri juga tidak bisa berangkat. Tidak punya paspor. Untuk bikin paspor harus ada akta kelahiran. Akhirnya bibinyalah (adik ibu) yang bersumpah di pengadilan. Bahwa Tara lahir pada tanggal itu. Satu tanggal yang Tara sendiri yang menentukan.

Saat tiba di Cambridge, Tara menjadi anak kampung satu-satunya di kampus dunia itu. Termasuk Tara tidak punya baju untuk dansa. Atau untuk jamuan makan. Tapi dia tidak peduli. Jiwa mandirinya sangat kuat.

Saat diminta membuat karya tulis pertama, guru besar di sana terpana: belum pernah ada calon mahasiswa S2 yang punya karya tulis sebagus Tara.

Beasiswa itu berlanjut ke tingkat doktor. Itu setelah tim guru besar Cambridge menyatakan karya tulis Tara untuk lulus master sudah menyamai disertasi doktor. Pun doktor itu boleh diambil di Cambridge atau Harvard, Boston.

Tara memutuskan tetap di Cambridge. Hanya saja dia juga mengambil di Harvard selama enam bulan.

Suatu saat ayahnya datang ke Boston. Bersama ibunya. Tidak mau di hotel. Ingin tidur sekamar di asrama Tara. Sang ayah tidur di ranjang. Sang ibu di kursi. Tara sendiri di lantai. Tanpa kasur.

Tidur bersama itu ternyata sengaja dilakukan sang ayah. Sebagai cara paling intensif. Untuk menginsyafkan Tara. Agar bisa kembali ke jalan iman.

Setelah seminggu di Boston sang ayah kehabisan harapan. Tara sudah terlalu jauh tersesat. Sang ayah pulang dengan penuh kekecewaan.

Tara akhirnya meraih gelar doktor. Di umurnya yang 27 tahun. Dengan disertasi tentang filsafat sejarah. Terkait dengan Gereja Mormon dalam sejarah. Disertasi pertama di bidangnya. Judulnya: The Family, Morality, and Social Science in Anglo American Cooperative Thought, 1813-1890. Tahun 2014 itu dia bergelar doktor.

Kisah hidupnya itu dia tulis di buku pertamanya. Semua. Dalam sebuah buku tebal. Buku baru. Berjudul 'Educated'. Yang baru selesai saya baca.

Tidak ada yang disembunyikan Tara. Sangat detil. Penuh warna. Termasuk warna kehidupan sehari-hari keluarga Westover. Sejak masa kecilnya. Dengan konflik-konfliknya. Dengan darahnya. Dengan air matanya.

Sudah lebih tiga tahun Tara tidak bertemu ayahnya. Tidak mau pulang ke Idaho. Terakhir dia pulang untuk melepas rindu pada kampungnya. Pada pegunungan Buck Peak. Pada tempat-tempat kecilnya: gereja, latihan tari, kudanya dan tempat tampil di paduan suara. Dan musim saljunya. Dia tidak mampir ke rumahnya. Hanya lewat di depannya.

Dia sendiri mengaku mengalami gejala kejiwaan: jiwa terbelah. Jiwa yang ganda. Di dalamnya ada pribadi Tara dewasa. Tapi juga terus hidup Tara yang lain. Tara masa remaja. Masa pemberontakan. Sampai kepalanya dibenamkan ke air di dalam toilet.

Gejala kejiwaan itu pula yang dialami ayahnya. Dalam derajat yang sangat tinggi. Juga kakaknya.

Ini penting untuk kita. Bagaimana parenting. Bagaimana dewasa dalam keluarga. Dan bagaimana menangani kalangan ekstrim dengan ilmu pengetahuan. Bukan dengan kekerasan.




Ji Chang-wook Gelar Fansign di Jakarta 12 Mei Mendatang, Siap Suguhkan Pengalaman Istimewa bagi Para Penggemar

Sebelumnya

Cerita Pengalaman Vloger asal China Menginap di Hotel Super Murah Hemat Bajet

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Disway