Salah satu opini publik tentang
Salah satu opini publik tentang "setop tot tot wuk wuk" yang beredar luas lewat stiker. (X/@SelebtwitMobil)
KOMENTAR

KELUHAN warga terhadap penggunaan strobo dan sirene di jalan makin lantang. Suara “tot tot wuk wuk” bukan cuma lelucon di media sosial, tapi terasa nyata di hidung, telinga, dan hati orang-orang yang berjuang melewati kemacetan setiap hari.

Sirene kendaraan pengawalan tidak hanya bikin gaduh;  tapi juga memicu stres, emosi, dan rasa bahwa ada yang selalu di atas kita—yang punya keistimewaan tak terjelaskan.

Banyak pengendara merasa terganggu. Terjebak macet di cuaca panas, bunyi-bunyian itu membuat kepala pusing. Penggunaan sirene seharusnya hanya untuk kondisi darurat—ambulans, pemadam kebakaran, mobil jenazah. Kalau cuma rapat atau pulang kantor, apa urgensinya?

Keluhan serupa muncul terkait pemakai strobo dan sirene yang bukan pejabat, atau bahkan yang hanya untuk acara nikahan atau olahraga; tindakan ini jelas melanggar aturan UU No. 22 Tahun 2009 Pasal 135 yang hanya mengizinkan kendaraan prioritas menggunakan sirene dan rotator.

Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Ojo Ruslani menegaskan ancaman hukuman: kurungan satu bulan atau denda Rp250.000 bagi pelanggar. Tapi warga bilang, aturan itu cuma jadi “angka di UU” yang sering diabaikan.

Gerakan “Setop Tot Tot Wuk Wuk” pun muncul di jagat digital — hashtag viral di media sosial, poster satir, juga stiker “Pajak kami ada di kendaraanmu. Stop berisik di jalan Tot Tot Wuk Wuk!”. Warga umum, pengemudi ojek online, hingga pejalan kaki ikut merasakan suara strobo & sirene sebagai simbol ketidaksetaraan, bukan alat keselamatan bersama.

Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto turut menanggapi gerakan ini saat ditemui di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Minggu (21/9). Ia mengatakan bahwa penggunaan sirene dan strobo dibolehkan untuk tamu VVIP, sesuai dengan aturan yang sudah ada. Agus juga mengaku merasa terganggu, sampai mengarahkan bawahannya agar tidak menyembunyikan strobo.

“Saya juga ingin ikut merasa nyaman,” ujar Agus. Dia menegaskan bahwa satuannya harus tetap berhenti saat lampu merah, kecuali memang ada keadaan sangat mendesak.

Masyarakat merasa, jika panglima TNI saja terganggu, maka suara-suara “kecil” rakyat punya argumen yang logis dan sah. Dan memang, selain suara dan lampu, efek psikologisnya nyata: tekanan mental meningkat ketika seseorang terus-menerus menghadapi kebisingan dan ketidakpastian jalan raya.

Keamanan juga terancam saat pengemudi bingung harus memberi jalan atau tidak. Penegakan aturan yang tegas dari polisi dan aparat negara—termasuk pihak-pihak VVIP—dianggap langkah penting agar rasa keadilan di ruang publik bisa dirasakan semua.

Gerakan ini bukan soal menolak kewenangan; bukan soal menolak keamanan. Ini soal memintakan keadilan, ruang tenang, dan penghormatan bahwa manusia biasa—yang tiap hari bayar pajak, bekerja mati-matian—juga berhak tidak dibuat “tertindas sirene” hanya karena yang melewati dianggap punya jabatan lebih tinggi. “Setop Tot Tot Wuk Wuk” bukan cuma bunyi protes: itulah suara rakyat yang telah lama bergema!

 




Generasi Z dan Isu Kesehatan Mental: Antara Stigma, Teknologi, dan Potensi yang Perlu Dioptimalkan

Sebelumnya

Liburan Seru di Pantai Haeundae: Kombinasi Alam, Kuliner, dan Budaya Khas Korea

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Horizon