Ruang Dialektika yang Hampir Hilang
Ketika para pembicara mulai beringsut dari kursi mereka, suasana ballroom itu belum kehilangan riak semangat. Tak ada tepuk tangan meriah, tapi justru ada keheningan yang khusyuk. Seperti saat suara keras berganti gema yang pelan, namun tetap menggetarkan.
Indonesia, seperti yang digambarkan oleh mereka hari ini, adalah negeri yang mewarisi suara dari gua-gua purba, yang pernah menjadi pusat dunia, namun kini nyaris kehilangan panggung untuk berdialektika.
Kita butuh kebudayaan yang hidup, bukan yang dibekukan dalam museum atau dijadikan sekadar dekorasi festival. Butuh pemimpin yang mengerti kultur, bukan hanya struktur. Butuh ruang bagi keragaman suara, bukan hanya pengeras narasi tunggal.
"Kebenaran tidak pernah dimonopoli oleh satu suara," ujar Okky. Dan dalam riuh zaman ini, suara itu terdengar seperti doa yang disampaikan lewat mikrofon.
Dalam kebisingan dunia baru yang seringkali menelan jejak sejarah dan mengabaikan nilai-nilai lama, diskusi semacam ini adalah oase intelektual yang langka. Jika kebudayaan adalah cermin bangsa, maka sudah saatnya kita membersihkan kaca itu dari kabut kekuasaan dan prasangka.
Seperti kata Imam Ali bin Abi Thalib, "Seseorang yang tidak mengetahui sejarahnya, maka ia akan tersesat dalam perjalanan hidupnya."
Dan hari ini, dalam ruangan itu, secercah cahaya telah menuntun kita kembali melihat peta jalan lama—menuju jati diri yang (masih) mungkin diselamatkan. Semoga.
KOMENTAR ANDA