JULIANA menjadi perempuan pertama dari komunitas pedalaman Orang Rimba yang berhasil menyelesaikan pendidikan formal hingga perguruan tinggi. Ia meraih gelar sarjana S1 Kehutanan di Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Muhammadiyah Jambi, pada 9 September 2024. Juliana berhasil menyelesaikan masa studinya tepat pada semester 8.
Momentum ini menjadi sangat berarti bagi komunitas adat di Jambi, khususnya Orang Rimba yang selama ini jauh dari kesempatan menempuh pendidikan tinggi.
Pendidikan formal sebenarnya bukan sesuatu yang sepenuhnya asing bagi komunitas Orang Rimba. Sudah lebih dari 300 anak bersekolah, baik formal maupun informal. Namun, sebagian besar dari mereka hanya sampai tingkat dasar. Melanjutkan pendidikan ke tingkat menengah adalah hal yang langka, terlebih pendidikan tinggi.
Para orang tua masih menilai bahwa sekolah dapat menjauhkan anak-anak dari rimbanya. Untuk mengakses pendidikan formal, anak-anak harus menempuh perjalanan jauh dan meninggalkan tempat tinggal mereka.
Hal ini dikarenakan sekolah yang paling dekat dengan mereka berada di pusat-pusat kecamatan. Terlebih lagi, program pendidikan dari pemerintah sebelumnya tidak sesuai dengan kebutuhan dan kebiasaan komunitas. Para orang tua khawatir anak-anak yang bersekolah akan meninggalkan adat dan akar budayanya.
Selain beberapa persoalan tersebut, rintangan terbesar bagi Juliana adalah tradisi bagi para perempuan Orang Rimba. Di masyarakatnya, kaum perempuan umumnya sudah harus menikah pada usia remaja. Oleh karena itu, perjuangan Juliana dalam menempuh pendidikan tinggi menjadi simbol penting dan membukakan pintu masa depan bagi dirinya sekaligus perempuan-perempuan Suku Adat Dalam lainnya.
Perjalanan Juliana dalam menuntut ilmu tentunya tidak lepas dari peran orang tuanya yang suportif. Ia memiliki bepak (ayah) dan induk (ibu) yang terbuka akan pendidikan. Sehingga, ketika seorang sukarelawan pendidikan dari Pundi Sumatera datang ke wilayah mereka di Pelepat, Kabupaten Bungo, bepak mengizinkan anak-anaknya ikut belajar baca tulis.
Di kemudian hari, tiga dari delapan anaknya pun bersekolah formal. Anak pertama yaitu Atop, anak kelima yang bernama Edison, serta anak keenam yakni Juliana.
Sayangnya, Atop dan Edison berhenti bersekolah di tingkat dasar. Kemudian, Juliana mendapatkan tawaran beasiswa dari Universitas Muhammadiyah Jambi. Dengan bekal restu orang tuanya dan dorongan kuat untuk berkuliah, Juliana berhasil mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Muhammadiyah Jambi dengan mengambil jurusan Kehutanan di Fakultas Sains dan Teknologi.
“Saya kuliah bukan untuk melawan adat, tapi untuk menjaga adat kami dengan ilmu,” kata Juliana, seperti dikutip dari GSFI.
Juliana ingin meyakinkan keluarga dan masyarakatnya bahwa pendidikan tinggi tidak akan menjauhkan dirinya dari adat. Ia memiliki tekad kuat bahwa pendidikan tinggi yang ditempuhnya harus bermanfaat untuk memajukan kehidupan Orang Rimba.
“Dorongan mau kuliah, karena saya sadar hutan bukan lagi masa depan,” ujar Juliana.
Dengan ilmu yang diperolehnya di Jurusan Kehutanan, Juliana melakukan riset terhadap tumbuhan-tumbuhan obat dalam rimba. Penelitiannya ini berhasil mengidentifikasi 39 jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan.
Kemudian, Juliana mendokumentasikan cara pemanfaatan tumbuh-tumbuhan tersebut. Ada yang direbus, dilumat, diperas, hingga ditempelkan pada bagian tubuh tertentu. Juliana yakin jika inventarisasi data kearifan lokal terus dilakukan, pengetahuan tentang potensi bahan alam sebagai obat-obatan akan terbuka lebih banyak.
Selain itu, Juliana juga membentuk kelompok Mina Hasop Eluk yang beranggotakan para perempuan. Melalui kelompok ini, ia fokus mengembangkan kuliner khas Orang Rimba, yaitu ikan asap. Produk ikan asap tersebut mulai menembus pasar lokal dan telah dipasarkan di berbagai pameran yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Keteguhan Juliana dalam menuntut ilmu tidak hanya menjadi bukti bagi masyarakat luas bahwa perempuan dari Suku Adat Dalam mampu menempuh pendidikan tinggi, tetapi juga memberikan harapan sekaligus motivasi bagi perempuan-perempuan Suku Adat Dalam yang selama ini merasa kurang berhak pendidikan tinggi.
“Kalau saya gagal, adik-adik saya nanti tidak akan berani kuliah. Perempuan dari kelompok kami juga akan selalu takut kuliah. Situasinya tidak akan berubah. Maka itu saya ingin membuktikan bahwa perempuan Suku Adat Dalam juga bisa kuliah,” tegas Juliana.



KOMENTAR ANDA