Ilustrasi anak mengerjakan pekerjaan rumah. (Freepik)
Ilustrasi anak mengerjakan pekerjaan rumah. (Freepik)
KOMENTAR

KEBIJAKAN Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi untuk menghapus pekerjaan rumah (PR) bagi siswa memicu perdebatan luas di kalangan pendidik, orang tua, hingga pengamat. Di satu sisi, gubernur yang akrab disapa KDM itu beralasan bahwa PR konvensional tidak lagi relevan, karena sering kali justru dikerjakan oleh orang tua, bukan siswa. Ia ingin agar anak-anak lebih mengeksplorasi potensi diri melalui kegiatan rumah yang produktif dan membangun hubungan dengan keluarga serta lingkungan.

Namun di sisi lain, sejumlah pengamat pendidikan mengingatkan agar kebijakan ini tidak gegabah. Ketua Yayasan Guru Belajar Bukik Setiawan menilai penghapusan PR bisa dibenarkan jika ditujukan untuk membenahi praktik tugas asal-asalan.

Tetapi, tanpa perbaikan sistem pembelajaran secara menyeluruh, anak justru bisa kehilangan ruang belajar. Ia menegaskan bahwa PR yang bermakna masih dibutuhkan, terutama di jenjang SMP dan SMA, untuk membangun tanggung jawab dan kemandirian siswa.

Kritik juga datang dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) yang menyoroti minimnya partisipasi publik dalam perumusan kebijakan ini. Dengan tingginya angka putus sekolah di Jawa Barat, kebijakan pendidikan seharusnya dibuat berdasarkan kajian dan data, bukan hanya sekadar viral.

Sementara itu, Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menyambut baik inisiatif ini karena dapat memberi ruang lebih bagi anak untuk beristirahat dan tumbuh di lingkungan keluarga. Ia menekankan pentingnya peran orang tua dalam menggantikan fungsi edukatif PR di rumah.

Wakil Mendikdasmen Atip Latipulhayat mengingatkan bahwa pemberian PR adalah wewenang guru dan tidak bisa diseragamkan. Setiap sekolah memiliki karakteristik dan kebutuhan belajar yang berbeda. Oleh karena itu, kebijakan penghapusan PR seharusnya lahir dari dialog antara pemangku kepentingan pendidikan, bukan semata instruksi struktural.

Pada akhirnya, yang utama bukan soal setuju atau tidak setuju dengan PR, tetapi apakah kebijakan tersebut benar-benar memberi ruang bagi anak-anak untuk tumbuh, belajar, dan berkembang secara sehat—baik di sekolah maupun di rumah. Karena masa depan mereka adalah tanggung jawab bersama.

Kebijakan menghapus PR bagi siswa sudah tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor: 81/PK.03/Disdik tentang Optimalisasi Pembelajaran di Lingkungan Satuan Pendidikan. Kebijakan tersebut, menurut KDM, sudah diterapkan sebelumnya saat ia menjabat Bupati Purwakarta. 

“Penghapusan PR itu dimaknai sebagai upaya menghentikan kegiatan aktivitas rutin di sekolah yang dibawa ke rumah,” ujar KDM dalam video di akun Instagram @dedimulyadi71.




Suku Bunga Turun, Bank Mega Syariah Dorong Pembiayaan Ritel

Sebelumnya

Menolak Diam! Kementerian PPPA Kutuk Dugaan Kekerasan Seksual oleh Oknum Penegak Hukum di NTT

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News