DI dunia perfilman, semua terlihat gemerlap. Lampu sorot, kamera, dan aktor yang disambut tepuk tangan membahana. Tapi di balik layar, ada kami—para pekerja film yang mengandalkan tenaga, waktu, dan kepekaan rasa untuk menghasilkan karya yang tak hanya enak ditonton, tapi juga layak disebut seni. Sayangnya, ada satu hal yang kerap dianggap remeh dalam proses kreatif ini: WAKTU. Etika tentang jam kerja, istirahat, dan penghargaan atas tubuh yang lelah merupakan kisah suram yang tak tertangkap kamera.
Aku bukan sedang mengeluh. Ini bukan kisah pilu atau upaya menjatuhkan siapa pun. Ini adalah catatan kecil dari seorang pekerja lepas film yang mencoba jujur tentang kenyataan. Karena aku percaya, dunia kreatif tak seharusnya kehilangan sisi manusiawinya hanya karena dikejar waktu dan ambisi kesempurnaan.
Dunia film memang memukau. Banyak yang tergoda oleh kilau popularitas dan kemewahan yang tampak di layar lebar. Tapi sedikit yang tahu, di balik setiap adegan dramatis atau aksi heroik, ada kerja keras yang sunyi dari para kru. Aku salah satunya.
Sebagai freelancer di dunia film, aku terbiasa berpindah-pindah produksi. Tak ada jam masuk kantor atau cuti tahunan. Semua berjalan dinamis, fleksibel, dan kadang tak manusiawi. Ekspektasi tentang kebebasan berekspresi dan berkarya nyatanya sering berbenturan dengan kenyataan jam kerja yang tak menentu, bahkan bisa dibilang ekstrem.
Apakah tidak ada aturan yang dapat dijadikan acuan? Apakah pekerja lepas benar-benar tidak terlindungi?
Undang-Undang Ketenagakerjaan sebenarnya sudah mengatur dengan jelas. Pasal 77 Ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa waktu kerja yang wajar adalah 7 jam per hari dan 40 jam seminggu untuk 6 hari kerja. Tapi dalam produksi film, siapa yang bisa memastikan waktu?
Aku pernah berada di set selama 24 jam penuh. Tidur hanya sekadar memejamkan mata di mobil penjemputan. Tidak ada batasan jelas antara pagi dan malam. Yang ada hanya target scene yang harus selesai hari itu. Ketika kru lain sudah lelah, justru proses paling penting baru dimulai.
Salah satu momen yang paling membekas dalam ingatanku adalah ketika bekerja di sebuah film layar lebar. Sebagai talent coordinator, aku harus memastikan semua aktor dan figuran hadir, siap, dan bekerja sesuai rundown. Hari itu, aku sudah bersiap sejak pukul 5 pagi, hingga keesokan paginya saat matahari kembali muncul, aku masih belum sempat merebahkan tubuhku.
Sebelum syuting dimulai, aku sering mendengar ucapan khas dari para kru yang sudah pasrah dengan waktu, “Kayaknya enggak mungkin pulang malem, udah pasti pulang pagi. Kalau enggak jam 4, ya jam 5 sampai matahari terbit.”
Kalimat itu sudah jadi semacam lelucon yang menyakitkan tapi nyata. Kami seolah terbiasa dengan pola kerja yang tak mengenal waktu manusia. Tidur menjadi kemewahan, dan kelelahan menjadi teman sehari-hari.
Kadang, kelelahan itu kami bungkus dengan candaan. Entah untuk menghibur diri atau sekadar bertahan di tengah tekanan waktu. Salah satu momen yang selalu aku ingat adalah ketika menjelang pukul 7 malam, seseorang dari kru berseru dengan nada penuh semangat, “Ya, hari ini kita wrap jam 9.”
Tapi belum sempat kami mengangguk lega, suara lain langsung menyambar, “Tapi jam 9 pagi!” Seruan itu langsung disambut tawa lelah dari semua yang mendengar. Kalimat itu menjadi semacam kode, bahwa kita harus bersiap untuk semalam suntuk lagi. Lucu, sekaligus menyedihkan. Karena lelucon itu bukan sekadar gurauan kosong, melainkan realitas yang terjadi hampir setiap hari selama proyek itu berlangsung.
Mendengar perkataan itu, otakku bahkan mulai otomatis menghitung jam mundur dari matahari terbit, bukan dari jam pulang normal seperti pekerja kantoran. Kami yang bekerja di belakang layar hidup dalam alur yang tak bisa ditebak. Tak jarang, aku menyaksikan rekan kru tidur dengan posisi duduk sambil memeluk clipboard, atau soundman yang terlelap sambil mengenakan headset di kepala.
Candaan tentang pukul 9 pagi bukan cuma mencerminkan jadwal yang kacau, tapi juga kekuatan bertahan para kru. Di tengah lelah yang luar biasa, humor jadi satu-satunya hiburan murah meriah yang bisa kami nikmati. Tapi sekeras apa pun tawa itu, tubuh tetap menyimpan catatan kelelahan yang tak bisa dilupakan.
Memang benar, setiap pekerjaan ada risikonya. Tapi ketika risiko itu menyentuh batas kemanusiaan, rasanya ada yang perlu dikoreksi. Aku melihat banyak kru lain mengalami hal serupa. Ada yang sakit karena kurang tidur bahkan tidak tidur, ada yang pingsan karena kelelahan, bahkan luka di bagian kaki karena terlalu banyak bergerak atau tergesek sepatu. Ironis, bukan?
Semuanya tetap bertahan karena kebutuhan hidup. Karena kami cinta pada pekerjaan ini. Tapi sampai kapan idealisme harus mengalah pada sistem yang tak adil?
Bukan Soal Cepat Selesai, Tapi Soal Menghargai
Dalam dunia film, waktu sering dianggap sebagai lawan yang harus ditaklukkan. Jadwal produksi yang padat membuat banyak orang berlomba menyelesaikan pekerjaan secepat mungkin, tanpa sempat bertanya, apakah semua orang baik-baik saja? Padahal, produksi yang selesai cepat bukan berarti efisien jika harus mengorbankan kesehatan para kru.
Aku belajar bahwa menyelesaikan pekerjaan bukan hanya soal kecepatan, tapi soal bagaimana menghargai proses dan orang-orang di dalamnya. Menghargai waktu bukan sekadar mempercepat pengambilan gambar atau memadatkan jadwal, melainkan juga memberi ruang bagi tubuh untuk bernapas, memberi jeda bagi pikiran untuk tetap waras, dan mengizinkan tenaga untuk pulih.
Ketika waktu istirahat diremehkan, kualitas kerja pun ikut menurun. Kru yang lelah tidak bisa fokus, hasil kerja jadi tidak optimal, dan suasana di lokasi syuting pun menjadi tegang. Sebaliknya, ketika jadwal dirancang dengan pertimbangan manusiawi, hasilnya justru lebih baik. Kami bekerja dengan lebih ikhlas, lebih teliti, dan lebih saling menghargai.
Menghargai waktu bukan hanya tanggung jawab produser atau manajer produksi. Ini tanggung jawab bersama, sebagai sesama manusia yang ingin terus berkarya tanpa kehilangan kemanusiaannya.
Solusi Bukan Mustahil
Aku tahu perubahan tidak bisa diciptakan instan. Tapi ada solusi yang sebenarnya cukup realistis. Mulai dari menyusun jadwal syuting yang lebih manusiawi, mengikuti jam kerja yang sudah ditetapkan oleh Undang-Undang, hingga membuka ruang evaluasi di akhir produksi. Dan terpenting, adanya kesadaran bahwa dunia kreatif tetap membutuhkan sistem yang sehat.
Aku juga percaya, peran asosiasi pekerja film sangat penting dalam memperjuangkan hak-hak dasar ini. Karena pekerja film bukan robot. Kami manusia yang bekerja dengan rasa, bukan hanya tenaga.
KOMENTAR ANDA