HASIL kajian NEXT Indonesia Center menemukan puluhan triliun rupiah dana subsidi energi, dalam hal ini bahan bakar minyak (BBM), gas minyak bumi cair (liquified petroleum gas, LPG) ukuran 3 kilogram, dan solar— mengalir ke masyarakat yang tak berhak. Bahkan golongan kelompok masyarakat kaya di Indonesia pun turut menikmati.
Sejatinya, yang menjadi target penyaluran subsidi termasuk BBM, yakni 40% kelompok dengan pendapatan -ditunjukkan melalui pengeluaran bulanan- terendah. Mereka adalah masyarakat atau rumah tangga yang berada di desil 1-4, yakni masyarakat miskin dan rentan miskin.
“Namun realisasinya, masyarakat tidak miskin, kelas menengah, maupun kelompok masyarakat kaya pun ikut menikmati,” ungkap Christiantoko, Direktur Eksekutif NEXT Indonesia Center, menyampaikan hasil kajian lembaganya di Jakarta, Jumat (15/8).
Dia menguraikan, dari hasil analisis terhadap data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2024 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terungkap, potensi salah sasaran untuk komoditas BBM merek Pertalite sekitar 1.400 juta liter per bulan.
Jumlah itu setara dengan 78,93% dari total 1.774,5 juta liter Pertalite yang dikonsumsi oleh seluruh rumah tangga di Indonesia yang berjumlah 72,7 juta.
Sebagian besar Pertalite itu dinikmati oleh masyarakat dalam kelompok desil 5-10. Tragisnya, kata Christiantoko, 20% keluarga terkaya (desil 9-10) ikut menikmati, yakni rata-rata sekitar 39,99% dari total konsumsi Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) itu.
“Salah sasaran subsidi ini terus terjadi bertahun-tahun. Oleh karena itu pemerintah perlu melakukan evaluasi penyalurannya,” katanya.
Kelompok masyarakat desil 9-10 merupakan rumah tangga terkaya, yang menurut data Susenas Maret 2024, memiliki rata-rata pengeluaran per kapita lebih dari Rp2 juta per bulan. Dengan demikian, dia menegaskan, pada periode survei BPS di tahun lalu itu, ada 20% warga terkaya di Indonesia menikmati BBM yang sebagian harganya ditanggung oleh pemerintah.
Pertalite adalah Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) yang lahir pada tahun 2022, seperti ditetapkan oleh Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 37.K/HK.02/MEM.M/2022 tentang Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan, menggantikan Premium. Pertalite tidak mendapatkan subsidi.
Kendati demikian, pendistribusi jenis BBM tersebut berhak mendapatkan kompensasi, yaitu dana yang diberikan oleh pemerintah kepada badan usaha, dalam hal ini PT Pertamina (Persero), untuk menutupi selisih antara harga jual yang ditetapkan pemerintah dengan harga keekonomian atau harga pasar. Jika melihat data keuangan Pertamina pada tahun 2024, total dana kompensasi yang diserap perusahaan tersebut mencapai US$6,4 miliar atau sekitar Rp102,6 triliun dengan kurs Rp16.000 per dolar Amerika Serikat.
“Kompensasi itu kan, seperti istilah yang digunakan Bank Dunia, merupakan implicit subsidies atau subsidi yang menggunakan istilah berbeda,” ujarnya.
Dengan asumsi nilai kompensasi seperti yang diterima oleh Pertamina itu, total BBM jenis Pertalite yang dinikmati oleh 20% kelompok masyarakat terkaya senilai Rp41 triliun atau 39,99% dari total potensi kompensasi yang tidak tepat sasaran. Secara kumulatif, potensi salah sasarannya bernilai Rp81 triliun, yang dinikmati oleh mereka yang bukan masyarakat miskin atau rentan miskin atau yang dalam kelompok desil 5-10.
Kondisi serupa terjadi pada komoditas LPG 3 kilogram (kg) yang disubsidi. Untuk komoditas ini, ujar Christiantoko, potensi salah sasaran penyalurannya mencapai 67,41%. Sedangkan kelompok masyarakat terkaya yang berada di desil 9-10 yang turut menikmati sekitar 23,66% atau setara dengan 97,9 ribu ton per bulan.
“Potensi total salah sasaran untuk LPG 3 kg itu setara dengan Rp57,7 triliun,” katanya.
Christiantoko mengingatkan, data yang diungkap BPS itu menunjukkan adanya inefisiensi dalam penyaluran subsidi maupun kompensasi di bidang energi. Masalah ini harus dituntaskan agar dana yang digelontorkan oleh pemerintah lebih tepat sasaran dengan memberikan nilai manfaat yang besar bagi kesejahteraan masyarakat.
KOMENTAR ANDA