KOMENTAR

JANGAN melulu mengharapkan jatah pembagian daging kurban, apalagi sampai berebutan untuk mendapatkannya. Tiba masanya bagi kita untuk mengukur diri, apakah sudah tiba waktunya untuk menjadi seorang yang berkurban.

Dalil Al-Qur’an sudah menegaskan perintah berkurban, sebagaimana yang tertera pada surat al-Kautsar ayat 2, yang artinya, “Maka, laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah!

Salat merupakan tiang agama dan merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap muslim. Nah, di saat ayat ini menyandingkan ibadah salat dengan kurban, maka hendaknya mata hati kita terbuka untuk memahami urgensi dari berkurban.

Kurban merupakan bentuk pengorbanan diri, kesediaan untuk mengorbankan apa yang dimiliki, dan menunjukkan ketaatan kepada Allah. Dengan melaksanakan salat dan berkurban, akan mendekatkan diri kita kepada Allah, meningkatkan kualitas keimanan, dan memperkuat ikatan dengan-Nya.

Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya al-Faifi dalam buku Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq (2013: 859-860) menerangkan keutamaan berkurban:

Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Aisyah, bahwa Nabi saw. bersabda, “Tidak ada amalan manusia pada hari raya kurban yang dicintai Allah melebihi amalan mengalirkan darah (menyembelih hewan). Sesungguhnya hewan kurban itu akan datang pada hari kiamat beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kukunya. Sungguh, sebelum darah kurban itu mengalir ke tanah, pahalanya telah diterima di sisi Allah. Oleh sebab itu, tenangkanlah jiwa kalian dengan berkurban.”

Hadis ini menunjukkan pentingnya berkurban pada hari raya Idul Adha. Menyembelih hewan kurban merupakan salah satu amalan yang dicintai oleh Allah dan Rasulullah.

Dalam hadis tersebut, disebutkan bahwa hewan kurban akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu, dan kuku-kukunya. Hal ini menunjukkan bahwa amalan berkurban akan menjadi saksi kebajikan kita dan meraih pahala yang besar.

Bahkan Rasulullah menegaskan bahwa pahala dari kurban telah diterima oleh Allah sebelum darah hewan sembelihan itu mencapai tanah. Ini menunjukkan bahwa ketulusan dan niat baik seseorang dalam berkurban sangat penting.

Selain itu, hadis ini menyampaikan pesan supaya kita meresapi hakikat berkurban, karena amalan tersebut memiliki nilai yang tinggi di sisi Tuhan.

Nah timbul suatu pertanyaan, dalam kajian fikih Islam, bagaimanakah hukum berkurban itu ya?

Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya al-Faifi (2013: 860) menjelaskan:

Hukum berkurban adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan), dan makruh bagi orang yang mampu jika tidak mengerjakannya. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas, bahwasanya Nabi berkurban dengan dua ekor kambing yang bertanduk dan gemuk. Beliau menyembelihnya sendiri seraya menyebut nama Allah dan bertakbir.

Keterangan di atas menerangkan hukum berkurban adalah sunnah muakkadah atau amalan yang disunahkan tetapi sangat dianjurkan. Ini level sunnah yang tinggi ganjaran pahalanya. Namun, ada juga ulama yang menyebut hukum berkurban itu wajib, yang tentunya pandangan ini merupakan bagian dari khilafiah atau perbedaan pendapat.

Ibnu Rusyd pada buku Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid: Jilid 1 (2010: 747) mengungkapkan: 

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berkurban, apakah wajib atau sunnah?

Menurut Imam Malik dan Imam Asy-Syafi'i, hukumnya sunnah muakkad. Imam Malik memberikan keringanan kepada orang yang sedang menunaikan ibadah haji untuk meninggalkannya ketika ia sedang berada di Mina. Tetapi, dalam masalah ini, Imam Asy-Syafi'i tidak membedakan antara orang yang sedang menunaikan ibadah haji dan yang Iainnya.

Menurut Imam Abu Hanifah, berkurban hukumnya wajib bagi orang-orang kaya yang tidak sedang bepergian dan yang tinggal di kota-kota besar, dan tidak wajib bagi orang-orang yang sedang bepergian atau musafir. Menurut Abu Yusuf dan Muhammad, murid Imam Abu Hanifah, kurban hukumnya tidak wajib.

Memang kebanyakan ulama lebih memandang ibadah kurban itu sunnah muakkad. Dan tidak semua muslim diwajibkan untuk berkurban. Karena amalan ini bergantung pada kemampuan finansial seseorang. Jika seseorang mampu secara keuangan, maka dia disunnahkan untuk berkurban sebagai bentuk pengabdian kepada Allah Swt.

Sekalipun banyak yang meyakini kurban hukumnya sunnah, tetapi adakalanya disebabkan oleh sesuatu hal maka berkurban itu hukumnya menjadi wajib. Ini penting sekali dipahami karena boleh saja kita terlanjur berada dalam posisi berkurban yang berubah menjadi diwajibkan tersebut.

Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya al-Faifi (2013: 860) menguraikan:

Kapan kurban diwajibkan? Kurban tidak diwajibkan kecuali dalam dua keadaan berikut:

1. Ketika seseorang telah menazarkannya. Dalilnya adalah sabda Nabi, “Barang siapa bernazar untuk menaati Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya."

2. Ketika seseorang berkata, “Ini untuk Allah” atau “Ini adalah hewan kurban.” Menurut Malik, jika seseorang membeli seekor hewan dengan niat akan dijadikan sebagai hewan kurban, maka ia wajib melaksanakannya.




Inilah Puasa yang Pahalanya Setara Berpuasa Setahun

Sebelumnya

Saat Itikaf Dilarang Bercampur Suami Istri, Maksudnya Apa?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Fikih