Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

SEJARAH kelam peradaban manusia ditandai dengan terjadinya perbudakan. Islam hadir memerdekakan dengan cara-cara yang bertahap dan elegan, di antaranya melalui pernikahan yang meski dipandang remeh oleh masyarakat yang masih terjangkiti wabah jahiliah. 

Surat al-Baqarah ayat 221, yang artinya:

Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik hingga mereka beriman! Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Jangan pula kamu menikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan yang beriman) hingga mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.

Jalaluddin As-Suyuthi dalam bukunya Asbabun Nuzul; Sebab Turunnya Ayat Al-Quran (2008: 91) menerangkan, Al-Wahidi meriwayatkan dari jalur as-Suddi dari Abu Malik dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Ayat ini turun pada Abdullah bin Rawahah, yang ketika itu memiliki seorang budak wanita berkulit hitam. Pada suatu hari dia marah kepada budaknya dan menamparnya.

Kemudian dia mendatangi Nabi Saw dan memberi tahu beliau tentang hal itu, lalu dia berkata, 'Sungguh saya akan memerdekakannya dan menikahinya’.

Lalu dia melakukan apa yang dikatakannya itu. Melihat apa yang dilakukannya itu, sebagian orang muslim mencelanya. Mereka berkata, ‘Dia menikahi seorang budak wanita?’ Maka Allah menurunkan ayat 221 surah al-Baqarah.” 

Dalam ayat ini Allah Swt membela Abdullah bin Rawahah yang menikahi budak hitam miliknya. Bahkan di antara kaum muslimin pun ada yang ikut-ikutan mencela pernikahannya yang dipandang tidak selevel. Tentunya ejekan itu tidak terlepas dari bias tradisi jahiliah yang tidaklah mudah membersihkannya dari kehidupan muslimin di masa itu.

Setelah memukul budak wanita, timbul rasa bersalah di hatinya. Dirinya sadar telah melakukan sesuatu yang tidak terpuji. Hebatnya, Abdullah bin Rawahah bukan hanya menyesali tetapi ingin mengangkat harkat budak wanita tersebut dengan menikahinya secara terhormat.

Nabi Muhammad Saw menyambut baik niat mulia tersebut, tapi bukan berarti beliau langsung menerima begitu saja. Kriterianya sudah dijelaskan Al-Qur’an, daripada menikahi wanita musyrik lebih baik menikahi budak yang beriman.

Ya, syarat keimanan itulah yang membuat seorang budak menjadi tinggi derajatnya. Dan itulah yang dipertanyakan terlebih dulu oleh Rasulullah. 

Muhammad Nasib Ar-Rifa’i dalam buku Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1 (1999: 358) menjelaskan, Nabi bertanya, “Bagaimana keadaan dia?” 

Abdullah menjawab, “Dia suka shalat, berpuasa, berwudu dengan bagus, dan bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwasanya engkau adalah Rasul Allah.” 

Nabi bersabda, “Hai Abu Abdullah, budak wanita itu muslimah.” 

Abdullah berkata, “Demi Zat Yang mengutusmu dengan hak, sungguh aku akan memerdekakannya dan sungguh aku akan menikahinya.”

Akhirnya Abdullah bin Rawahah benar-benar menunaikan janjinya, budak hitam itu bukan saja diberi kemerdekaan tapi juga dinikahi. Dari status budak belian perempuan itu melejit menjadi seorang istri dengan segenap hak-haknya yang dilindungi agama.  

Seandainya, perempuan itu hanya dimerdekakan, maka nasibnya bisa luntang-lantung tanpa kejelasan. Sebab tidak ada yang melindunginya, tidak ada tempatnya berlindung dan tidak ada baginya yang menjadi sandaran penghidupan. 

Di masa itu, orang-orang Arab hidup dalam naungan perlindungan sukunya masing-masing. Sekalipun dimerdekakan, mantan budak itu tidaklah memiliki suku yang melindunginya. Maka nasibnya setelah merdeka bisa ditawan dan diperbudak lagi atau malah mati kelaparan di gurun pasir.

Sehingga, tindakan Abdullah bin Rawahah menikahi mantan budak yang telah dimerdekakannya merupakan bentuk tanggung jawab yang besar. Sehingga mantan budak yang resmi jadi istrinya tidak akan mati kelaparan dan terlindungi dari marabahaya yang lebih besar.

Orang-orang pun banyak mencela pernikahannya, Abdullah bin Rawahah dipandang sebelah mata. Akan tetapi lelaki itu sungguh beruntung, sebab yang dinikahinya adalah perempuan beriman. Sekalipun mantan budak, dengan keimanan yang dimilikinya, sang istri akan mampu memelihara suami dan keluarga sesuai aturan Allah.

Keputusan spektakuler Abdullah bin Rawahah mendapat pembelaan dan sanjungan dari Allah. Sungguh luar biasa mental lelaki yang di masa itu berani menikahi perempuan budak atas alasan keimanan. 

Muhammad Nasib Ar-Rifa'i (1999: 359) menegaskan, mereka menyeret ke neraka. Yakni, bercampur dan bergaul dengan mereka akan membangkitkan cinta kepada dunia, merasa puas dengannya, serta memprioritaskan dunia daripada akhirat, dan pada akhirnya akan mengakibatkan kebinasaan. 

Sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya,” yakni melalui syariat-Nya, apa yang diperintahkan, dan apa yang dilarang-Nya. “Dan Dia menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran."

Penting sekali ditegaskan, ayat ini tidak pernah melegalkan perbudakan dan tidak pernah merendahkan budak perempuan. Perbudakan tidak dibenarkan dalam alasan apapun. Terlebih dalam agama Islam yang sangat membela hak asasi manusia. Malahan, ayat ini menggambarkan penghargaan terhadap perempuan yang pernah diperbudak kemudian meraih kemerdekaan dan perlindungan dalam mahligai pernikahan.




Memahami Faedah Bertawakal untuk Membebaskan Diri dari Penderitaan Batin

Sebelumnya

Menjadi Korban Cinta yang Salah

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur