Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

SELAMA perempuan tidak membatasi diri dalam meraih kebahagiaan, niscaya hingga di ujung hayat pun kebahagiaan tidak akan menjauh dari jiwanya. Sayangnya, sebagian orang terlalu cepat mengklaim hidupnya terlanjur bergelimang derita. Bahkan ada yang berani mengatakan, bahagia memang bukan haknya selama hidup di dunia. 

Kebahagiaan tidak bisa diartikan sesimpel itu, bukan tentang bergelimang derita atau tidak memiliki harta. Lebih dari itu, bahagia adalah bagaimana cara membangun persepsi positif terhadap apapun yang dialami. Tidak ada yang benar-benar buruk apabila kita mampu bersikap husnuzan terhadap garis takdir yang sudah ditetapkan.

Fragmen Bahagia

“Selamat datang, Putriku!” ujar Nabi Muhammad, saat beliau terbaring sakit berat.

Fatimah yang sedari kecil telah matang ditempa kesulitan, tumbuh menjadi wanita yang dewasa jiwanya. Namun, tatkala menyaksikan ayahanda tercinta sedang melalui proses sakratul maut, perempuan agung itu turut sedih akan kehilangan sosok mulia.

Rasulullah memberi isyarat, Fatimah pun mendekat. Pada bisikan pertama ini, Fatimah menangis terisak-isak. Suasana tegang pun menyelimuti orang-orang yang hadir. Nabi Muhammad Saw pun tidak tega melihat putri tercinta diliputi kesedihan. Beliau ingin anaknya memiliki kebahagiaan sepanjang hayatnya. 

Lalu sang ayah memberi isyarat dan Fatimah pun kembali mendekatkan telinganya. Usai mendengar bisikan kedua, wajah Fatimah langsung merona cerah, senyumannya terpancar indah, dan terlihat kebahagiaan meliputi dirinya.

Aisyah bertanya, apa yang telah dibisikkan Rasulullah sehingga Fatimah bisa menangis kemudian tertawa bahagia.

“Sebenarnya saya tidak akan membuka rahasia Rasulullah,” jawabnya. 

Tidak lama kemudian, Nabi Muhammad Saw pun wafat dalam wajah nan damai. Fatimah kehilangan ayah tercinta, tapi ia tidak kehilangan kebahagiaan. Hingga orang pun kembali bertanya-tanya, bisikan apa yang diberikan sang Rasul sampai perempuan itu bisa tetap bahagia.

Fatimah pun membeberkan rahasianya. Pada bisikan pertama Rasulullah mengatakan, bahwa bersama dengan sakitnya itu beliau akan meninggal dunia. Maka menangislah Fatimah karena akan berpisah dengan ayahanda tercinta. 

Pada bisikan kedua Rasulullah mengatakan, bahwa dari segenap keluarganya, Fatimah adalah yang paling pertama menyusul kematiannya. Dari itulah, Fatimah amatlah bahagia.

Bisikan Nabi Muhammad Saw terbukti kebenarannya. Beberapa hari kemudian, Fatimah pun meninggal dunia menyusul ayahanda menuju surga. (Disadur dari buku Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husain Haekal)

Kisah Fatimah menjadi bahan menarik untuk mengkaji ulang makna kebahagiaan. Bukankah kematian itu melalui sakratul maut yang berat? Tidakkah bersama kematian, manusia kehilangan segalanya? Lantas apakah yang membuat Fatimah malah bahagia? Bagaimana cara sebenarnya dalam memaknai kebahagiaan itu?

Unlimited

Pada buku Meraih Kebahagiaan karya Jalaluddin Rakhmat disebutkan, kebahagiaan tidak ditentukan oleh keberuntungan. Kebahagiaan ditentukan oleh perasaan ketersambungan dengan tujuan hidup, dengan masyarakat, dengan hal-hal spiritual, dengan apa saja yang bermakna. 

Inilah kebahagiaan yang tidak berbatas itu (unlimited happiness), bahkan kematian bisa menjadi kabar gembira bagi orang yang menemukan hakikat kebahagiaan. Singkatnya, orang yang bahagia itu tidak ada lagi beda baginya antara hidup dengan mati, kaya dengan miskin, bebas atau terpenjara. Apapun kondisi yang dialami, mampu dimaknainya sebagai manifestasi kebahagiaan. 

Sebetulnya perasaan menderita itu hanyalah tergantung cara manusia memaknai. Tidak perlu mengorbankan kebahagaiaan dengan menafsirkan secara negatif dan meneror diri terus-menerus hanya karena persepsi derita yang menyakitkan itu. Sejatinya, persepsi menderita itulah yang mencuri kebahagiaan kita tanpa disadari.

Jangan Batasi!

Kalau ingin mendapatkan kebahagiaan yang tak berbatas, maka jangan batasi diri dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Berhentilah menyiksa diri dengan menciptakan derita dari pemaknaan terhadap kejadian buruk, sementara kesempatan masih terbuka luas guna meraih keberhasilan. 

Kebahagiaan itu adalah dari cara pandang kita terhadap kehidupan itu sendiri. Makanya, Nabi Muhammad tetap bahagia menyambut kematian, sebab hanya dengan itu ia bisa bertemu Allah Swt dan mendapatkan surga yang terbaik. 

Pun dengan Fatimah, yang tetap bahagia saat mengetahui dirinya akan menjadi orang pertama yang menyusul kematian Sang Nabi. Sebab, perempuan itu memahami tujuan hidup menuju rida Allah, dan kematian adalah gerbang satu-satunya menuju surga-Nya.

Dari itu, ketika berhadapan dengan kejadian yang tidak sesuai harapan, maka orang-orang saleh memandangnya sebagai gelombang kehidupan. Dari episode terpahit pun mereka masih mampu meraup nilai-nilai kebaikan yang menjadi modal kebahagiaan abadi. 

Lebih mudah meraih kebahagiaan dengan kekayaan batin ketimbang dengan kekayaan lahir. Apabila perempuan mampu memandang segala sesuatu dari dimensi kebahagiaan, maka tidak akan ada kesulitan yang membuatnya menderita.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur