Ilustrasi anak berhadapan dengan hukum/Net
Ilustrasi anak berhadapan dengan hukum/Net
KOMENTAR

SIAPA saja bisa berurusan dengan hukum, termasuk anak-anak. Namun, tentu saja ada perlakuan khusus yang membedakan hukum terhadap anak dan orang dewasa.

Seperti halnya AG (15), yang baru saja ditetapkan sebagai ‘anak berkonflik dengan hukum’ oleh kepolisian dalam kasus penganiayaan anak pengurus GP Ansor, D, oleh tersangka Mario Dandy Sastrio (MDS).

Status baru AG ini mendapat perhatian serius dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Komisioner KPAI Dian Sasmita menyatakan, akan mengambil langkah pengawasan, baik kepada AG maupun D, agar penegakan hukum berjalan sesuai aturan yang ada.

Sejauh ini, hukum di Indonesia menerapkan perlakuan khusus kepada anak yang berkonflik dengan hukum. Perlakuan khusus itu salah satunya di bidang pemberitaan, bahwa media massa dilarang mengungkap identitas anak.

UU SPPA melarang media cetak dan elektronik mengungkap identitas anak korban, saksi, dan tersangka. Identitas yang dimaksud meliputi nama anak, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lainnya yang dapat mengungkapkan jati diri si anak.

Mengapa perlakuan khusus ini diberikan?

“Anak dilindungi oleh UU Perlindungan Anak, termasuk UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Anak yang berhadapan dengan hukum adalah mereka yang menjadi korban, saksi, dan pelaku, dengan usia belum mencapai 18 tahun,” kata Dian.

Lanjutnya, anak belum cakap secara hukum, baik dari sisi kognitif maupun mental. Agar anak terhindari dari dampak buruk peradilan pidana umum, muncullah UU SPPA.

Sementara, anak sebagai korban perlu mendapat pendampingan oleh pekerja sosial professional di bawah otoritas pemerintah daerah. Pendampingan rehabilitasi diperlukan pada anak sebagai korban maupun sebagai saksi, juga pelaku.

Dalam Pasal 90 UU SPPA disebutkan, korban berhak atas upaya rehabilitasi medis dan sosial, baik di dalam maupun di luar lembaga. Korban anak juga harus dijamin keselamatannya, baik fisik, mental, sosial, serta kemudahan mendapatkan informasi.

“Tapi, ketika anak sudah ditentukan sebagai tersangka, ada mekanisme yang harus segera dilakukan melibatkan PK Bapas (Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan),” ujar dia.

Bapas ini kemudian melakukan penelitian terhadap keluarga dan lingkungan dari anak yang berstatus tersangka atau berhadapan dengan hukum. Hasil penelitiannya lalu dilaporkan kepada penyidik polisi sebagai bahan pertimbangan, termasuk penahanan hingga diversi.

“Jadi, UU SPPA ini tidak hadir tiba-tiba. Ini hadir untuk merespon bahwa semua kenakalan akan yang berujung criminal, tidak pernah berdiri sendiri. Tidak tiba-tiba ada anak yang melakukan tindak pidana, tapia da pengaruh dari luar diri anak,” demikian dijelaskan Dian.




Fokus pada Segmen Ritel, Bank Mega Syariah Perluas Jangkauan Nasabah untuk Halal Lifestyle

Sebelumnya

Direksi Minimarket di Malaysia Didakwa Menghina Agama karena Menjual Kaus Kaki Bertuliskan “Allah”

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News