Kemegahan masjid Al Jabbar, Bandung, Jawa Barat, yang bisa menampung 50 ribu jamaah/Net
Kemegahan masjid Al Jabbar, Bandung, Jawa Barat, yang bisa menampung 50 ribu jamaah/Net
KOMENTAR

BARU saja diresmikan lalu dibuka untuk umum, masjid Al-Jabbar di Bandung menjadi banyak perbincangan orang. Bukan perihal masjid masterpiece itu, melainkan perilaku pengunjung yang membuat resah.

Kolam-kolam masjid yang indah beralih fungsi bak waterboom, menjadi arena permainan air cuma-cuma. Antusias warga untuk mengunjungi masjid, memunculkan kamacetan. Berikutnya mudah ditebak, pengunjung masjid yang membludak menghadirkan lautan sampah.

Masjid Al-Jabbar tentu saja sudah memenuhi kriteria idaman, kemegahannya berhasil menyedot banyak perhatian. Dari waktu ke waktu, pengunjungnya makin berdesak-desakan. Ini suatu nilai lebih yang patut diapresiasi.

Namun ada pertanyaan nyeleneh, mereka yang berduyun-duyun ke sana itu untuk beribadah atau sekadar berwisata? Atau malah hanya ingin mengisi konten medsos mereka?

Amat disayangkan jika memang demikian. Sungguh kenyataan yang menyedihkan!

Mari kita simak, bagaimana Rasulullah Saw mendirikan masjid Nabawi di Madinah. Awalnya hanyalah bangunan sederhana, jauh dari kemegahan atau kemewahan. Tapi, masjid Nabawi tidak pernah sepi pengunjung. Jangankan di waktu-waktu shalat, di luar itupun masjid senantiasa ramai, sebab Nabi Muhammad menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan umat.

Pernahkah terjadi perbuatan menyimpang? Tentu, iya!

Atas perlakuan yang menyimpang, Nabi Muhammad tidak sedikitpun meluapkan kemarahannya. Beliau justu memberikan edukasi yang baik mengenai adab di rumah Alla.

Tidak hanya sekali, edukasi itu diberikannya berkali-kali, disampaikan dan disosialisasikan, sehingga pemahaman cara menghormati rumah ibadah bersemayam di hati umat.

Pernah seorang Arab dari dusun membuang dahaknya di dalam masjid. Kemudian, Nabi Muhammad dengan tangan sucinya membersihkan dahak itu. Pernah pula seorang lelaki jahiliyah kencing di masjid. Tetapi Rasulullah lagi-lagi menggunakan tanganya sendiri untuk membersihkan najis itu.

Raghib As-Sirjani dalam buku Nabi Sang Penyayang (2014: 197) menceritakan, Anas bin Malik berkata: “Ketika kami bersama Rasulullah Saw di masjid, tiba-tiba datang seorang Badui dan ia kencing. Maka, para sahabat Nabi pun berseru, “Tahan, tahan!”

Kemudian Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah kalian menghentikan kencingnya, biarkan saja ia.” Para sahabat pun membiarkannya, sampai pria itu menyelesaikan hajatnya.

Lalu, Rasulullah memanggilnya dan bersabda, “Masjid ini tidak pantas untuk kencing dan buang air besar. Seharusnya, masjid untuk zikir kepada Allah Azza wa Jalla, shalat, dan membaca Al-Qur'an.”

Rasulullah kemudian memerintahkan seorang sahabatnya untuk membawa air satu ember, kemudian mengguyurkannya pada tempat kencing Badui tersebut.

Mengapa beliau berbuat demikian lembut?

Perbuatan buruk kala itu berlatar kehidupan jahiliyah. Mereka belum paham tata cara menghormati rumah ibadah, sehingga berperilaku tidak terpuji. Untuk mengatasinya, bukan dengan dimarahi, melainkan diberi edukasi dengan cara uswatun hasanah atau teladan yang baik.

Berkaca dari tindakan lembut Rasulullah, ketika kita melihat perbuatan tidak terpuji, salah satunya tindakan joget-joget di masjid Al Jabbar, jangan hanya melontarkan kekesalan atau kegeraman saja. Segera lakukan tindakan yang benar-benar mengedukasi mereka.

Bagaimana caranya?

Pertama, menutup masjid bukanlah solusi! Masjid sebaiknya tetap dibuka untuk kegiatan ibadah dan menjadi sentral kegiatan kaum muslimin. Jangan jauhkan umat dari rumah ibadah mereka.

Kedua, tetap pelihara aset Al Jabbar yang sudah ramai dikunjungi jamaah. Itu tetap lebih baik daripada masjid sepi layaknya di tempat pemakaman umum. Keramaian bukanlah beban, melainkan kekuatan dari umat.

Ketiga, lakukan kegiatan-kegiatan positif Islam, yang salah satunya mengakomodir kesenian, dengan syarat dan ketentuan sendiri. Pentas-pentas seni akan ikut menyemarakkan pelataran masjid, dan memberdayakan fungsi masjid dalam makna luas.

Nantinya bisa dibicarakan, seni macam apa yang layak digelar di halaman masjid, yang lebih bermartabat dibandingkan joget-joget genit. Seni membuat hidup indah, tapi keindahan juga butuh kesopanan.

Keempat, sosialisasikan aturan adab-adab di rumah ibadah. Bagian inilah harapan kita semua demi terciptanya kenyamanan bersama di rumah Allah. Adab-adab itu berhulu dari syariat Islam, yang kemudian diselaraskan dengan kearifan lokal.

Perjelas terus kegiatan-kegiatan apa saja yang boleh dilakukan di masjid, serta apa yang perlu perizinan. Aturan-aturan bukan bertujuan mengekang, melainkan menjadi sarana pembuktian, bahwa masjid memang tempat membangun peradaban.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur