KOMISI Kesehatan Nasional China mengatakan COVID-19 membuat angka pernikahan dan angka kelahiran di negara itu semakin berkurang. Angka tersebut sebelumnya memang telah menurun dalam beberapa tahun terakhir akibat tingginya biaya pendidikan dan pengasuhan anak.
Banyak perempuan terus menunda rencana mereka untuk menikah atau memiliki anak. Terlebih lagi perkembangan ekonomi dan sosial yang cepat telah menyebabkan perubahan besar dalam kehidupan masyarakat.
Orang-orang muda yang pindah ke daerah perkotaan, menghabiskan waktu lebih banyak untuk pendidikan dan lingkungan kerja yang bertekanan tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan pemikiran tentang pernikahan dan keluarga menjadi terpinggirkan.
Dilansir Reuters (23/8/2022), para ahli demografi juga mengatakan bahwa kebijakan "Zero COVID" yang dijalankan dengan super ketat oleh pemerintah China membuat banyak orang semakin enggan memiliki anak.
Virus corona memiliki dampak signifikan terhadap keputusan seseorang untuk menikah, mempunyai anak, dan membina keluarga.
Kelahiran baru di China akan turun ke rekor terendah tahun ini, kata para ahli demografi, dengan perkiraan penurunan di bawah 10 juta dibandingkan dengan 10,6 juta bayi tahun lalu, yang berarti 11,5 persen lebih rendah dari pada tahun 2020.
China memiliki tingkat kesuburan 1,16 pada tahun 2021, salah satu tingkat terendah di dunia, di bawah tingkat 2,1 yang menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menjadi syarat untuk populasi yang stabil.
Setelah memberlakukan kebijakan satu anak dari tahun 1980 hingga 2015, China telah mengakui populasinya berada di ambang penyusutan. Kondisi tersebut menyebabkan adanya potensi krisis dalam membayar dan merawat para lansia di masa depan.
Untuk mengatasi masalah ini, pihak berwenang di tingkat nasional dan provinsi selama setahun terakhir telah memperkenalkan langkah-langkah seperti keringanan pajak, cuti hamil yang lebih lama, asuransi kesehatan yang ditingkatkan, subsidi perumahan, dan uang tambahan untuk anak ketiga.
KOMENTAR ANDA