Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

MASYAALLAH!

SIAPA yang menyangka, siapa yang menduga, ternyata polisi sudah ada di masa Nabi Muhammad dan beliau pun membanggakan salah seorang ajudannya.

Syaikh Muhammad Abdul Athi Buhairi pada Tafsir Ayat-Ayat Ya Ayyuhal-Ladzina Amanu (2005: 143) mengungkapkan:  

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, “Kedudukan Qais bin Saad bin Ubadah di sisi Nabi saw. adalah seperti kedudukan polisi di hadapan penguasa.”

Hal senada juga diungkapkan oleh Abdussyafi Muhammad Abdul Lathif dalam buku Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah (2014: 122) menerangkan:

Qais bin Sa’ad merupakan salah seorang pemimpin Arab yang cerdik dan paling kompeten di antara tokoh-tokoh semasanya dalam taktik perang, politik dan pemerintahan. Ia memiliki banyak pengalaman. Sebelumnya ia menjabat sebagai petugas keamanan (semacam polisi) di era Rasulullah.

Peran yang diemban oleh Qais bin Sa’ad disebut dengan syurthah, kemudian hari dalam berbagai pemerintahan Islam syurthah ini dilembagakan secara resmi, yang mana syurthah menjadi sebutan untuk kepolisian.

Puji sanjung yang ditujukan kepada sosok polisi baik Qais bin Sa’ad memang banyak. Akan tetapi, siapa sangka tingkah polah Qais bin Sa’ad di masa lalunya justru kurang meyakinkan untuk mengemban amanah kepolisian.      

Track record Qais bin Saad rupanya tidaklah bersih-bersih amat, sebab kecemerlangan otak malah dipakainya untuk meresahkan masyarakat. Hingga kemudian ayahnya Saad bin Ubadah menyerahkan putranya tersebut untuk digembleng langsung oleh Rasulullah. Dalam didikan Nabi Muhammad diketahuilah bakat terpendamnya, yakni menjadi polisi yang membanggakan.  

Rizem Aizi pada buku The Great Sahaba (2018: 332) menerangkan:

Jadi, dari semua pengawal Rasulullah saw. Qais bin Sa’ad adalah pengawal dalam arti sebenarnya, yaitu selalu mengawal dan berada di sisi Rasulullah.

Pada mulanya, di zaman jahiliah, sebelum Qais masuk Islam, ia termasuk anak yang cerdik. Ia memperlakukan semua orang dengan segala kecerdikannya. Tidak sedikit dari mereka yang dibuat tidak berdaya melawan kecerdikannya. Maka, semua orang di Madinah pun selalu waspada dan berhati-hati terhadap Qais yang dikenal sangat “nakal”.

Namun, sifat buruk Qais tersebut berubah menjadi sifat mulia setelah ia masuk Islam. Rasulullah mendidik dan mengajarkannya untuk menghormati orang lain. Qais pun membuang semua sifat buruknya itu dan tidak mengulanginya lagi.

Rasulullah memberikan bukti kepada sejarah, Qais bin Sa’ad berubah menjadi polisi baik berkat didikan yang tepat.

Sebagai ajudan pribadi Nabi Muhammad, kita dapat mengetahui kualitas kinerja Qais bin Sa’ad dari keselamatan Rasulullah dari marabahaya.

Bukankah di masa itu kota Madinah masih disesaki kabilah-kabilah Yahudi yang sering berkhianat, belum termasuk lagi kalangan pagan yang fanatik dengan sembahan berhala mereka, yang  semua musuh-musuh agama Islam itu tentu mengincar Rasulullah.

Alhamdulillah, Nabi Muhammad selamat dari petaka yang buruk, sekalipun dalam perjalanan dakwahnya beliau menjelajahi tempat-tempat penuh marabahaya.

Dari rentetan keterangan ini, jelaslah Qais bin Sa’ad bukan seorang polisi biasa. Berkat reputasi yang baik, maka dia pun dipercaya sebagai ajudan Rasulullah. Ini suatu kepercayaan besar yang menggambarkan kualitas dan kapasitas Qais bin Sa’ad sebagai polisi elit.

Selain mantap dalam menunaikan tanggung jawab keamanan, Qais bin Sa’ad juga menunjukkan reputasinya sebagai polisi baik dalam pergaulan masyarakat. Dirinya benar-benar polisi yang mengayomi bukannya menyakiti.    

Ibnul Atsir mengomentari pribadi Qais bin Sa’ad bin Ubadah dalam bukunya, Usud Al-Ghabah sebagai berikut, “Mengenai kebaikan yang dilakukan oleh Qais bin Sa’ad bin Ubadah sangatlah banyak dan terlalu panjang untuk disebutkan seluruhnya.”

Qais bin Sa’ad adalah polisi yang tidak dapat dibeli. Dirinya malah sosok aparat yang pemurah. Alih-alih menyusahkan rakyat, Qais justru meringankan kehidupan mereka. Di antara kejadian spektakuler dirinya ialah membebaskan orang-orang yang pernah berutang padanya  

Hamka dalam Tafsir al-Azhar Jilid 2 (2015: 387) menceritakan:

Pada suatu hari Qais bin Saad bin Ubadah ditimpa sakit agak berat. Dia tercengang karena banyak teman sahabatnya tidak datang melihatnya dalam keadaan sakit (iyaadah).

Lalu dia bertanya kepada anak-anaknya, apa sebab teman sejawat tak datang melihatnya, padahal sudah begini sakitnya? Anak-anaknya menjawab, kebanyakan mereka malu untuk menjenguknya sakit sebab mereka itu banyak berutang kepadanya dan utang itu tidak terbayar.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur