KOMENTAR

PROKLAMASI kemerdekaan yang dibacakan dengan lantang oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 menandai lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemilihan tanggal tersebut bukan tanpa alasan melainkan keputusan yang didasari beberapa hal penting.

Ada apa di balik pemilihan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia?

Tanggal yang mulia

Seperti kita ketahui, peristiwa pemboman kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang pada 6 dan 9 Agustus 1945 membuat Jepang secara resmi mengakui kekalahan terhadap sekutu pada 14 Agustus 1945.

Kekalahan Jepang tersebut tentulah menjadi momen yang harus dimanfaatkan bangsa Indonesia untuk bisa terlepas dari belenggu negara yang saat itu dipimpin Kaisar Hirohito.

Saat itu umat Islam sedang melaksanakan puasa Ramadhan. Ingin bergerak cepat, sejumlah pemuda 'menculik' Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok jelang makan sahur tanggal 16 Agustus 1945, berharap bahwa proklamasi akan segera dikumandangkan.

Mereka memastikan pemuda Indonesia melalui Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) hingga Barisan Pelopor akan siap berhadapan dengan pasukan Jepang.

Namun, Soekarno meminta para pemuda untuk tidak tergesa-gesa. Ia sudah memikirkan agar proklamasi yang diikuti pidato pembakar semangat rakyat dapat bergema di seluruh penjuru Nusantara.

Lewat buku Soekarno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, kiranya kita memahami mengapa Bung Karno menolak proklamasi di hari itu.

"Hari Jumat ini Jumat Legi. Jumat yang manis. Jumat suci. Dan hari Jumat tanggal 17. Alquran diturunkan tanggal 17. Orang Islam melakukan sembahyang 17 rakaat dalam sehari. Mengapa Nabi Muhammad memerintahkan 17 rakaat, bukan 10 atau 20? Karena kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia."

"Ketika aku pertama kali mendengar berita penyerahan Jepang, aku berpikir kita harus segera memproklamirkan kemerdekaan. Kemudian aku menyadari, adalah takdir Tuhan bahwa peristiwa ini akan jatuh di hari keramat-Nya. Proklamasi akan berlangsung tanggal 17. Revolusi akan mengikuti setelah itu.”

Kisah menarik datang dari Ustaz Adi Hidayat (UAH). Ia mengingatkan tentang rumah yang digunakan sebagai tempat pembacaan proklamasi, yaitu Jl. Pegangsaan Timur No. 56. Rumah itu pula yang menjadi tempat Ibu Fatmawati menjahit bendera pusaka merah putih untuk dikibarkan di tanggal 17 Agustus 1945.

Menurut UAH, rumah tersebut adalah milik pengusaha Muslim keturunan Yaman yang sangat mencintai Indonesia. Rumah tersebut diwakafkan untuk kemerdekaan Indonesia. Sang pengusaha bernama Syekh Faradz Bin bin Marta (ada pula yang menulis Faradj bin Said bin Awadh Martak alias Faradj Martak).

UAH juga mengisahkan bahwa Syekh Faradz memberikan madu Yaman untuk menguatkan stamina Bung Karno yang kala itu sempat merasa lemas akibat penyakit dalam tubuhnya. Hingga akhirnya sang proklamator merasa segar dan berhasil memproklamirkan proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan menggelegar.

 




Fasilitas Kesehatan Hancur, Sebanyak 562 Warga Palestina Menderita Hemofilia

Sebelumnya

Kowani Desak Israel Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak-Anak

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News