Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

PASANGAN tersebut sudah bersiap hendak menunaikan shalat berjamaah. Tanpa sengaja kulit suami bersentuhan dengan kulit istrinya. Keduanya tersenyum-senyum. Istri memilih bersimpuh di sajadah, menanti suaminya yang mengulangi berwudu.

Orang-orang memandang ada keganjilan pada pasangan harmonis itu, kok suami-istri bisa berbeda pendirian. Padahal keduanya berpegang pada kitab suci yang sama dan ayat yang sama pula, tetapi penafsiran malah berbeda. Kenapa ya?

Suami memahami mestilah dirinya mengulangi berwudu disebabkan bersentuhan kulit dengan istri. Uniknya, sang istri memilih tidak mengulangi berwudu, karena memandang wudu tidaklah batal akibat persentuhan kulit dengan suaminya.

Inilah agama yang benar-benar memuliakan perempuan dalam makna yang teragung. Bahkan, dalam perkara sentuh menyentuh saja ada aturan yang menjadikan dirinya terhormat.

Surat an-Nisa ayat 43, yang artinya, “Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.”

Pemahaman terhadap ayat ini terlihat bagus-bagus saja, pembahasannya terkait dengan shalat yang tentunya terlebih dahulu mestilah bersuci, dengan melaksanakan wudu. Apabila tidak ada air maka wudu pun bisa diganti bertayamum dengan debu yang suci.

Namun, ada perbedaan penafsiran terkait dengan ayat ini, khususnya tentang kata lamastumun nisa (menyentuh perempuan) yang secara tersurat dinyatakan sebagai yang termasuk yang membatalkan wudu. Singkat kata, begitu bersentuhan kulit dengan perempuan nonmuhrim, maka jika hendak shalat maka wudu pun perlu diulang, atau bertayamum jika tidak ditemukan air.

Dalam pola hubungan sosial ketimuran yang kita anut, tampaknya persentuhan kulit dengan perempuan akan tergolong kejadian langka, terlebih bagi yang ketat dalam pergaulan. Lain ceritanya dengan suami-istri, yang mana persentuhan itu tentunya sering terjadi. Di sinilah penafsiran ayat tentang lamastumun nisa menimbulkan perdebatan yang menarik.  

Ahmad ibn Mustafa Farrān pada Tafsir Imam Syafi’i: Menyelami Kedalaman Kandungan Al-Qur’an (2007: 149-150) menerangkan, mengenai hukum menyentuh perempuan, Imam Syafi’i berargumen dengan ayat, yang artinya,”Atau kalian telah menyentuh perempuan,” dan pernyataan Ibnu Umar,

“Ciuman dan rabaan suami kepada istrinya termasuk sentuhan (mulamasah).” Riwayat Ibnu Mas’ud juga hampur senada dengan pendapat Ibnu Umar.

Dengan demikian, pendapat di atas memandang persentuhan itu bukan hanya tangan, tetapi mencakup berbagai jenis persentuhan kulit, termasuk itu ciuman, rabaan atau yang lainnya.     

Tentang surat an-Nisa ayat 43 ini, para ulama berbeda pendapat, yaitu apakah persentuhan kulit lelaki dengan perempuan yang bukan muhrim menjadikan wudu perlu diulang atau tidak? Justru di sini letak menariknya, karena perbedaan ulama terjadi padahal mereka memahami ayat yang sama dan berlandaskan dalil-dalil yang sama kuatnya.

Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur`an Jilid 2 (2001: 374) menguraikan, akan tetapi, mengenai kata ‘laamastumun nisa’ atau ‘menyentuh wanita’ ini juga terdapat perbedaan pendapat. Satu pendapat mengatakan bahwa ini merupakan kinayah (kata kiasan) dari jima’ atau persetubuhan, yang mewajibkan mandi. Pendapat yang lain lagi mengatakan bahwa makna kata ini ialah bersentuhan biasa, sentuhan bagian mana pun antara tubuh laki-laki dan tubuh wanita. Menurut sebagian mazhab, hal ini mewajibkan wudu, sedangkan menurut bagian yang lain tidak dianggap mewajibkan wudu.

Persoalan ini disebutkan secara ringkas sebagaimana berikut:
a.    Sentuhan itu mewajibkan wudu secara mutlak.
b.    Sentuhan itu mewajibkan wudu apabila yang menyentuh itu disertai dengan syahwat dan yang disentuh juga bersyahwat.
c.    Sentuhan itu mewajibkan wudu apabila si penyentuh merasa terangsang, bagaimana pun kadarnya.
d.    Sentuhan itu tidak mewajibkan wudu secara mutlak, termasuk memeluk dan mencium istri.
Masing-masing pendapat itu memiliki sandaran dari perbuatan atau sabda Rasulullah saw. yang notabene menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dalam bidang fiqhiyyah pada masalah-masalah furu’.

Ayat yang sama itu dipahami berbeda-beda, tetapi bukan asal berbeda lho! Para ulama melandaskan penafsirannya dengan dalil-dalil yang kuat.

Abdul Qadir Manshur pada Buku Pintar Fikih Wanita (2012: 58) menerangkan:    

Menurut mazhab Hanafi dan satu pendapat yang berasal dari Imam Ahmad, wudu laki-laki itu tidaklah batal, baik sentuhannya itu dilakukan karena ada dorongan syahwat maupun tidak. Hal ini didasarkan sebuah riwayat dari Aisyah yang menyebutkan Rasulullah pernah mencium istrinya dan langsung shalat tanpa mengambil air wudu terlebih dahulu. (HR. at-Tarmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

Adapun menurut pengikut mazhab Maliki, wudu laki-laki itu menjadi batal jika sentuhannya dimaksudkan untuk mencari kenikmatan atau mendapatkan kenikmatan ketika menyentuhnya. Pendapat paling masyhur di kalangan mazhab Hanbali menyatakan hal serupa, bahwa menyentuh kulit seorang perempuan membatalkan wudu jika dilakukan dengan dorongan syahwat, dan tidak membatalkan wudu jika dilakukan tanpa dorongan syahwat.

Adapun menurut pengikut Imam Syafi’i dan salah satu pendapat yang berasal dari Imam Ahmad bin Hanbal, bersentuhannya kulit laki-laki dan perempuan membatalkan wudu, apapun alasannya.

Bagi kalangan ulama yang melihat ayat ini punya makna kinayah, maka mereka menyebut kata lamastumun nisa (menyentuh wanita) tidak dipahami sebagai persentuhan kulit, melainkan kiasan dari hubungan seksual atau jima’. Alhasil, bagi suami istri yang bersentuhan kulit dalam kondisi sudah berwudu tidak perlu lagi mengulang wudunya, karena yang membuat wudunya batal adalah jima’.

Nah, kita jadi bisa dong menebak mazhab mana yang dipegang sang istri dalam kisah pembuka di atas!

Ulama yang meyakini kata lamastumun nisa ditafsirkan kiasan, juga memahami di dalam ayat yang sama terdapat kata al-Ghaith (tempat untuk buang air), itu bukan berarti tiap kali dari tempat buang air mesti mengulangi berwudu. Karena Al-Ghaith itu bermana kiasan yaitu hadas. Apabila berhadas ya mesti diulangi lagi berwudu sebelum shalat. Tapi, kalau kita hanya dari tempat buang air tetapi tidak berhadas maka wudunya tidak batal.

Misalnya nih, bisa saja kita ke toilet hanya untuk meludah, ambil air, bercukur atau kegiatan lainnya, itu kan bukan berarti wudu jadi batal dan perlu diulangi. Karena kata Al-Ghaith pada ayat bermakna kiasan, yaitu berhadas.

Namun, banyak pula ulama yang lebih berhati-hati dengan menafsirkan seperti apa adanya yang tersurat pada ayat, tidak melihat lamastumun nisa sebagai kiasan. Mereka memahami lamastumun nisa itu memang bersentuhan kulit langsung antara lelaki dengan perempuan, maka wudunya pun batal sekalipun keduanya suami istri, maka yang bersentuhan itu perlu mengulangi lagi wudunya, karena ayat sudah terang menyebut persentuhan kulit.




Tahukah Keutamaan Malam Lailatulqadar?

Sebelumnya

Diperbolehkan Tidak Berpuasa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tafsir