Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

KALAU-kalau pernah terdengar omongan, seolah-olah mahar yang diserahkan oleh suami merupakan bentuk ‘membeli’ istri, jelas sekali cara pandang keliru ini tidak terlepas dari ketidaktahuan tentang prinsip mahar yang diajarkan agama Islam.

Tidaklah mungkin manusia bisa dibeli, dan tidak mungkin harga istri itu setakar mahar, entah itu berupa cincin emas atau seperangkat peralatan shalat dan lain sebagainya. Jika mahar dimaknai sebagai ganti rugi kehormatan, tentulah kalangan perempuan yang paling keras menolaknya. Karena sejatinya tidak ada harta sebanyak apapun yang dapat membeli kehormatan manusia.

Lagi pula Al-Qur’an menyebutkan dengan lugas bahwa mahar adalah pemberian penuh kerelaan dalam bingkai penghormatan.

Selain itu, mahar adalah bentuk awal dari kesiapan tanggung jawab menafkahi yang akan dipikul suami sepanjang hayat pernikahannya. Begitu resmi ijab kabul, artinya telah terjadi perpindahan tanggung jawab dari seorang ayah kepada sang suami, dan mahar menjadi simbolnya kesiapan tersebut.

Mahar adalah kewajiban pertama suami terhadap istrinya. Namanya kewajiban yang dititahkan oleh Tuhan, maka para suami pun tidak boleh mengabaikannya.

Surat An-Nisa ayat 4, yang artinya, “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.”

Hamka dalam Tafsir Al-Azhar Jilid 2 (2015: 200-201) menerangkan, di dalam ayat ini, mas kawin disebut shaduqa dan dalam kesempatan lain disebut juga shadaq atau mahar. Kata shadaq atau shaduqat yang dari tumpun kata shiddiq. Shadaq, bercabang juga dengan kata shadaqah yang terkenal.

Di dalam maknanya terkandunglah perasaan jujur, putih hati.

Jadi artinya ialah harta yang diberikan dengan putih hati, hati suci, muka jernih kepada calon istri akan menikah. Memang di beberapa wilayah di Indonesia, seumpama di Sumatera Timur, uang mahar mereka namai “uang jujur”.

Dari kutipan ini, tampak jelas kemuliaan mahar yang berakar dari kata jujur. Dengan pemberian mahar itu, suami istri telah memulai pernikahan dengan sesuatu  yang teramat tinggi nilainya, yaitu kejujuran.

Kita sama tahu betapa pentingnya kejujuran dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Ketika pasangan mulai tidak jujur, saat itulah pernikahan mulai terancam karam.

Kejujuran itu lebih dulu dimulai dengan mahar yang berlandaskan kerelaan hati. Baik itu pihak suami jujur dengan kemampuan dirinya, begitu pun pihak istri jujur dengan harapannya. Insyallah, dengan bertemunya dua kejujuran ini maka pernikahan akan terpelihara dalam sakinah.

Disebabkan mahar merupakan hak istri dan menjadi kewajiban suami, dari itu pula mahar tidak boleh diniatkan untuk tidak ditunaikan. Tidak dibenarkan pihak suami terus mengelak dari mas kawin pernikahannya, yang merupakan pemberian bertujuan memuliakan istrinya.

Ahmad ibn Mustafa Farrān pada Tafsir Imam Syafi'i: Menyelami Kedalaman Kandungan Al-Qur'an (2007: 12) menyebutkan, artinya, jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan lalu meminta (istri) menyimpan harta miliknya, sementara sang istri belum menerima mahar karena memang belum diberikan, maka suami belum terlepas dari kewajiban membayar maharnya, meskipun dia memiliki harta yang cukup untuk membayar mahar dan tidak menghalangi istri mengambil harta tersebut.

Secara psikologis, sedalam apapun cinta sang istri, jauh di lubuk hatinya ada sesuatu yang mengganjal, tentang mahar yang belum ditunaikan. Mahar adalah tentang penghormatan, dan dapat dimaklumi jika sampai terjadi perasaan yang tidak enak, ketika mahar belum dibayarkan padahal pihak suami memiliki harta yang mencukupi. Jangan sampai kejadian ini membuat pernikahan dimulai dengan hati yang tergores luka.

Singkat kata, bersegeralah menunaikan mahar, supaya kewajiban itu tidak terlalaikan, yang nantinya akan membuat pernikahan menjadi tidak nyaman, yang juga akan mempermalukan suami di hadapan mahkamah akhirat.

Di antara cara agar mahar tidak tertunda-tunda, selain menjaga iktikad baik, yaitu dengan mempermudah takaran mahar itu. Hendaknya mahar tidak memberatkan bagi calon suami, sehingga tidak menjadi masalah berlarut, atau di kemudian hari menjadi utang yang merisaukan.

Calon istri sebaiknya berpandai-pandai dalam menakar kemampuan finansial calon suaminya, sehingga tidak meminta mahar yang memberatkan, apalagi menuntut sesuatu yang mustahil. Agak berat mencapai pernikahan yang sakinah ketika suami pontang-panting dikejar utang disebabkan mahar yang luar biasa beratnya.

Sebaik-baik perempuan adalah yang mudah maharnya. Bahkan dalam hadisnya, Nabi Muhammad merestui pernikahan para sahabat meski itu mahar pernikahannya berupa cincin besi atau pun bacaan surat Al-Qur’an.

Sebagaimana suatu hari pernah seorang sahabat yang hendak menikah, tetapi kondisi keuangannya betul-betul parah, tetapi kendala itu tidaklah menghambat niat sucinya untuk mempersunting perempuan idaman.

Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam buku Al-Lu'lu' wal Marjan #2 (2011: 136-137) menceritakan, Rasulullah bertanya, “Apakah kamu memiliki sesuatu?” Sahabat itu menjawab, “Demi Allah, tidak wahai Rasulullah!”

Beliau berkata, “Pulanglah ke keluargamu dan lihatlah apakah kamu mendapatkan sesuatu? Carilah walaupun hanya sebuah cincin besi!”

Lalu sahabat itu pulang dan kembali lagi seraya berkata, “Demi Allah tidak ada wahai Rasulullah!”

Rasulullah bersabda, “Pergilah, wanita itu telah menjadi istrimu dengan mahar mengajarkan surat Al-Qur'an yang kamu hapal.”




Assalamualaikum dan Semangat Mulia yang Menaunginya

Sebelumnya

Tafsir Keadilan Gender di Antara Mukmin Perempuan dan Mukmin Laki-laki

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tafsir