Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

ARAK-arakan seribu ekor unta dengan muatan penuh memang menggetarkan hati siapapun yang memandang. Lakon utamanya adalah Usman bin Affan. Dia konglomerat muslim yang supercerdas.

Pulang berdagang dari Syam, Usman menggondol keuntungan luar biasa menakjubkan.

Kini, harapan meraup cuan berlipat-ganda terbentang lagi di depan matanya. Setelah sukses menjual barang dagangan di Syam, di negeri subur itu dibelinya pula gandum, kismis, minyak dan kebutuhan pokok lainnya yang tentu laris manis di Madinah.

Dan yang paling berbinar-binar menyambut arak-arakan seribu unta itu adalah para tengkulak, pedagang, pebisnis, dan sejenisnya. Mereka berebutan hendak membeli barang-barang kebutuhan pokok dari negeri Syam, yang kelak bisa mereka jual lagi kepada penduduk Madinah dengan harga yang lebih tinggi. Naluri bisnis mereka dengan cepat menangkap peluang meraup cuan besar, hingga membuat negosiasi dengan Usman berlangsung sengit.

Maka terjadilah dialog bersejarah antara Usman bin Affan dengan para pedagang atau tengkulak.

Menantu kesayangan Rasulullah yang bergelar Dzun Nurain (yang memiliki dua cahaya) itu ngotot ingin meraup keuntungan besar-besaran. Sudahlah dapat untung menakjubkan selama berdagang di Syam, Usman pun bertekad meraup keuntungan lebih besar lagi berdagang di Madinah.

Tidak ada yang salah toh? Namanya bisnis ya cari untung dong!

Namun, keuntungan yang ditargetkan Usman melebihi imajinasi para pebisnis lainnya. Mereka pun tercengang-cengang ketika bernegosiasi dengan konglomerat muslim itu. Begini ceritanya:

Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya Utsman ibn Affan (2015: 43) menyebutkan, Usman bertanya, “Berapa keuntungan yang bisa aku dapatkan dari kalian?”

Mereka menjawab, “Dari 10, keuntungannya 12.”

Lalu Usman berkata, "Dia telah memberiku keuntungan yang lebih besar lagi.”

Mereka pun menaikan tawarannya, “Kalau begitu, dari 10 keuntungannya 15.”

Lagi-lagi Usman menjawab, “Dia telah memberiku keuntungan yang lebih besar dari itu.”

Mereka bertanya, “Siapakah yang bisa memberimu keuntungan lebih dari itu? Bukankah kami adalah pedagang-pedagang di Madinah?”

Usman menjawab, “Dialah Allah. Dia berjanji akan memberiku 10 untuk setiap 1 dirham. Adakah di antara kalian yang mampu melebihi itu?”

Tak lama, bubarlah para pedagang itu.

Usman berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku menghibahkan semua barang ini untuk para fakir miskin di Madinah tanpa harga dan perhitungan sepeser pun.”

Makin kaya Usman bin Affan malah membuat mata hatinya makin terbuka seluas-luasnya. Keputusan Usman menyumbangkan seluruh keuntungan bisnisnya disambut air mata keharuan dari kaum muslimin. Selamatlah mereka dari terkaman para tengkulak, selamatlah masa depan perut mereka sekeluarga dari perihnya rasa lapar akibat musim paceklik.

Tidak layak dikatakan Usman bin Affan lagi pamer kekayaan disebabkan arak-arakan sekitar seribu unta. Karena di masa itu tidak ada pesawat terbang atau helikopter yang lebih efektif mengangkut dagangannya. Jadi, kisah ini tidak dapat dijadikan pembenaran bagi crazy rich dalam aksinya pamer kekayaan. Tidak sama sekali!

Jangankan pamer kekayaan, pamer amalan baik saja dilarang dalam agama, karena tergolong sebagai perbuatan tercela, yakni riya. Pahala amalan itu akan ludes jika dipamer-pamerkan. Sebab yang terbaik itu, ketika tangan kanan memberi, bahkan tangan kiri pun tidak tahu.

Apabila mengamati viralnya kini pamer-pamer kekayaan, nalar sehat akan bertanya-tanya entah apa untung ya aksi itu?

Bayangkan, ketika derita berlipat ganda selama pandemi yang menambah jumlah orang miskin, yang membuat banyak orang terpaksa melalui malam-malam panjang dengan kelaparan yang mengerikan, eh tiba-tiba ada beberapa pihak yang pamer-pamer kekayaan.

Bayangkan, bagaimana perasaan mereka yang menonton aksi pamer itu? Kira-kira bisa kenyang tidak meonton aksi pamer crazy rich?

Usman bin Affan tidaklah sendirian, karena dalam binaan Rasulullah lahirlah banyak muslim yang supertajir tetapi luar biasa menakjubkan sedekahnya. Makin kaya mereka, kian menggila sedekahnya.




Memahami Faedah Bertawakal untuk Membebaskan Diri dari Penderitaan Batin

Sebelumnya

Menjadi Korban Cinta yang Salah

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur