Wartawan menjadi bagian dari sejarah, mendokumentasikan bagaimana bangsa ini berjuang keras untuk bertahan, saling peduli dan saling bantu, serta saling menumbuhkan semangat di masa sulit ini/ Net
Wartawan menjadi bagian dari sejarah, mendokumentasikan bagaimana bangsa ini berjuang keras untuk bertahan, saling peduli dan saling bantu, serta saling menumbuhkan semangat di masa sulit ini/ Net
KOMENTAR

TANGGAL 9 Februari setiap tahun diperingati sebagai Hari Pers Nasional (HPN). Peringatan HPN 2022 diselenggarakan di Kendari Sulawesi Tenggara dengan tema “Sultra Jaya, Indonesia Maju” dengan membawa isu kelestarian lingkungan hidup.

Secara garis besar, HPN bertujuan menyuarakan kepentingan nasional, membahas isu tentang pers nasional, juga berkontribusi pada pembangunan daerah.

Penetapan HPN dikukuhkan oleh Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 5 Tahun 1985, menyatakan bahwa pers Indonesia mempunyai sejarah perjuangan serta peranan penting dalam melaksanakan pembangunan pengamalan Pancasila.

Hari Pers Nasional bertepatan dengan hari ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ke-39.

PWI berdiri 9 Februari 1946 di Surakarta, Jawa Tengah. Dalam pertemuan akbar wartawan dari berbagai surat kabar, majalah, serta para pejuang dari seluruh Indonesia, terpilihlah Sumanang Surjowinoto sebagai ketua PWI yang pertama.

Saat itu Indonesia sedang ‘membara’ dengan perjuangan untuk membela proklamasi dan kedaulatan bangsa, melawan kembalinya Belanda serta menjaga kesatuan NKRI.

Selanjutnya, pergerakan insan pers nasional terus menggeliat meski tekanan dan ancaman dari pemerintah terus bergulir. Mulai dari era 1950-an hingga Orde Baru, dilanjutkan dengan era reformasi yang euforianya justru menimbulkan dampak negatif bagi pers nasional.

Ratusan media bermunculan, namun kode etik jurnalistik banyak diabaikan. Berita yang beredar cenderung sensasional.

Dilansir laman resmi Persatuan Wartawan Indonesia, pada 15 Oktober 1998, hasil diskusi para wartawan dan akademisi di Jakarta menghasilkan pernyataan tentang hakikat kebebasan pers, yaitu kebebasan dari ancaman, paksaan, tekanan, dalam bentuk apa pun dan dari pihak mana pun, untuk menyampaikan informasi.

Bebas Lepas!

Saat ini, 37 tahun sudah HPN diperingati setiap tahunnya. Kebebasan pers sudah digenggam, meskipun langkah mewujudkannya tidak selalu mulus.

Jika mau jujur, tantangan paling kritis saat ini adalah dari internal pers sendiri. Dengan ‘lautan’ media –terutama dalam platform online, terlalu banyak distorsi informasi yang membuat masyarakat kerap kesulitan mencerna fakta. Yang faktual dan yang abal-abal menjadi samar.

Bukan hanya soal lebih dari 47.000 media online namun masih ribuan yang terverifikasi, tapi juga variasi bentuk media yang makin meluas. Dua di antaranya adalah jurnalisme warga (citizen journalism) dan micro-news di media sosial.

Jurnalisme warga, dengan dukungan smartphone dan koneksi internet tanpa batas, kini telah menjadi asupan informasi publik sehari-hari. Ada yang mampu mengadopsi prinsip-prinsip jurnalistik dengan baik, yaitu menyodorkan fakta berbasis data. Namun tak sedikit yang menyusupkan opini pribadi.

Hasil jurnalisme warga yang dipenuhi tendensi pribadi itu biasanya bersifat provokatif. Syukur-syukur jika yang dilaporkan adalah kebenaran. Tapi jika didasarkan pada kepentingan pribadi atau sekelompok orang tanpa menghadirkan cover both side, akan dengan mudah merugikan orang lain dan menimbulkan gesekan sosial.

Selanjutnya ada micro-news. Di media sosial, “berita mini” ini biasanya berupa sekilas informasi atau penjelasan singkat tentang peristiwa yang menjadi headline di media mainstream.

Dengan kalimat yang singkat dan padat, micro-news sukses menjadi pemain baru sebagai penyebar informasi di jagat media sosial. Bentuknya tak hanya tulisan tapi didukung desain grafis yang menarik mata. Beberapa juga dimuat dalam format video.

Tak hanya dua hal di atas, dunia informasi teknologi juga disesaki eksistensi pasukan siber yang disebut buzzer. Mereka biasanya memiliki keterampilan untuk ‘menggoreng’ isu, mengalihkan isu, menggiring opini, hingga memecah belah masyarakat dengan konten hoaks dan tidak faktual.

Meski demikian, ada pula yang mengklaim mereka adalah “pasukan putih” yang bekerja keras menangkis dan memfilter informasi bohong yang beredar di dunia maya. Saat ini sudah bermunculan komunitas dan lembaga yang menghadirkan laman anti-hoaks untuk meluruskan disinformasi yang kadung meluas di masyarakat.

Insan pers nasional memiliki tanggung  jawab moral untuk menomorsatukan kepentingan rakyat. Dengan gempuran berbagai informasi yang disebarluaskan oleh orang tak bertanggung jawab, insan pers harus punya nyali untuk memberi informasi yang terverifikasi.

Wartawan memiliki kewajiban untuk menyampaikan informasi secara berimbang yang didukung data. Karena itulah seorang wartawan harus memiliki kualifikasi yang baik agar mampu bekerja profesional menjadi penyebar informasi.

Wawasan luas, pemahaman prinsip dan kode etik jurnalistik, serta penyampaian berita secara terstruktur namun mudah dipahami, menjadi kompetensi yang wajib dimiliki seorang wartawan.

Jika bekerja sebagai reporter atau produser di media televisi, bekerjalah profesional. Jadikan wawancara narasumber sebagai jalan untuk menggali kebenaran dan menyampaikan sebanyak-banyak informasi penting bagi masyarakat.

Tampillah dengan pembawaan yang profesional; dengan bahasa yang elegan dan pengucapan yang jelas, juga busana yang sopan dan apik. Tak perlu bersikap dramatis kepada narasumber karena wartawan harus dalam posisi netral. Pastikan informasi yang disiarkan akurat dan valid.




Rakerkesnas 2024, Presiden: Indonesia Harus Bisa Manfaatkan Bonus Demografi

Sebelumnya

Tak Lagi Berstatus Ibu Kota, Jakarta Siap Melesat Jadi Pusat Perdagangan Dunia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News