KOMENTAR

WISATA halal menjadi sebuah konsep industri pariwisata yang potensi ekonominya semakin besar dari tahun ke tahun. Tak heran bila banyak negara di dunia, meski mayoritas penduduknya bukan Muslim, berlomba-lomba menjadi yang terdepan di bidang wisata halal.

Di Asia, sebut saja Thailand, Korea Selatan, Taiwan, China, dan Jepang mulai menghadirkan pariwisata yang moslem friendly. Thailand misalnya, meluncurkan aplikasi Thailand Muslim Friendly untuk kenyamanan berwisata bagi pelancong Muslim dan menghadirkan Al Meroz, hotel ramah Muslim terutama bagi para Muslimah—dengan dilayani staf perempuan.

Demikian pula di Australia atau Amerika Serikat. Di negara bagian seperti Illinois, Virginia, New York, dan New Jersey, kita bisa menemukan semakin banyak masjid dan restoran halal seiring pesatnya pertumbuhan jumlah Muslim di sana.

Industri pariwisata yang ramah Muslim memang sangat menjanjikan secara ekonomi.

Jumlah umat Islam yang makin banyak dan strata sosial ekonomi yang makin baik, mereka tak ragu untuk mengeluarkan dana traveling untuk mengunjungi negara-negara di berbagai belahan dunia. Terlebih lagi di era serba digital yang memudahkan perjalanan lintasnegara maupun lintasbenua. Hal itulah yang dimanfaatkan para pelaku industri pariwisata untuk meraih sebanyak-banyak turis datang ke negara mereka.

Meski demikian, tidak semua orang memahami secara bijak apa yang dimaksud wisata halal.

Di negara kita, konsep wisata halal kerap dibenturkan dengan kearifan lokal, terutama di daerah-daerah dengan penduduk mayoritas nonMuslim. Ada anggapan bahwa wisata halal akan menggerus kearifan lokal karena mengharuskan industri pariwisata daerah sejalan dengan syariah Islam.

Menurut Wakil Presiden Ma'ruf Amin, anggapan tersebut salah besar. Ia mencontohkan pengalamannya berkunjung ke pelosok Korea saat menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), ia dibuat kagum karena di lokasi tersebut terdapat tempat salat dan restoran halal.

"Sebenarnya tentang wisata halal, kita masih ada persepsi yang keliru. Ada paham bahwa tempat wisata harus disyariatkan. Padahal yang kita maksud adalah layanannya yang (sesuai) syariah dalam hal restoran, hotel, tempat ibadah, dan lainnya. Arti sebenarnya adalah layanan halal, bukan mengubah tempat wisata menjadi syariah semua. Maka (tidak heran) daerah seperti Toba dan Bali menjadi resisten," ujar Wapres Ma'ruf dalam acara Diskusi Transmedia Institute akhir tahun lalu.

Wisata halal pada hakikatnya merupakan satu jalan untuk memperluas target wisatawan, bukan ancaman yang bakal menyulitkan pertumbuhan pariwisata di suatu daerah. Karena itulah menurut Wapres Ma'ruf, narasi yang keliru tentang wisata halal bakal menggerus kearifan lokal harus segera diluruskan.

Sama halnya dengan pelaksanaan wisata halal di mancanegara, intinya adalah menyediakan sarana dan fasilitas yang dibutuhkan umat Muslim untuk beribadah dan memenuhi kebutuhan hidup tanpa melanggar aturan syariat. Berbagai sarana tersebut akan memudahkan dan menjadikan umat Muslim nyaman untuk berwisata meskipun mayoritas penduduk di daerah tersebut bukan Muslim.

Menariknya, wisata halal tak hanya nyaman bagi Muslim tapi juga wisatawan secara umum. Pilihan akomodasi semakin banyak. Dan masjid misalnya, bisa menjadi destinasi wisata atau ikon daerah yang dikelilingi adat istiadat setempat. Semuanya sangat potensial baik dari sisi promosi budaya maupun dari sisi ekonomi daerah.

Jika wisata halal sudah mendunia, mengapa mesti tersendat di ruang domestik yang menjaga Bhinneka Tunggal Ika?




Rakerkesnas 2024, Presiden: Indonesia Harus Bisa Manfaatkan Bonus Demografi

Sebelumnya

Tak Lagi Berstatus Ibu Kota, Jakarta Siap Melesat Jadi Pusat Perdagangan Dunia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News