Amelia Noor-Oshiro, MPH/ Foto: Instagram @muslim.suicide.researcher
Amelia Noor-Oshiro, MPH/ Foto: Instagram @muslim.suicide.researcher
KOMENTAR

JIKA kita mengetik nama Amelia Noor-Oshiro, MPH di mesin pencari, ia diidentifikasi sebagai perempuan Muslim berkulit cokelat, penyintas bunuh diri, sekaligus peneliti, pendidik, dan aktivis.

Amelia sangat percaya bahwa setiap orang bisa sembuh dari masalah mental. Karena itulah ia giat mengedukasi pentingnya kesehatan mental dan bagaimana memulihkan diri dari masalah mental di tengah komunitas yang kurang terwakili.

Selama enam tahun terakhir, Amelia bekerja di lapangan untuk fokus pada bagaimana memahami dan mencegah bunuh diri pada ras minoritas dewasa usia 18 – 24 tahun. Ia menggunakan pendekatan akar rumput berbasis prinsip keadilan sosial.

Ia berusaha memahami risiko sekaligus faktor yang membuat orang dewasa bertahan untuk tidak melakukan bunuh diri, terutama di kalangan generasi kedua Muslim Amerika keturunan Asia Selatan.

Amelia berpikir bahwa insight yang ia dapat dari mempelajari komunitas tersebut dapat membantunya mencari solusi untuk pencegahan bunuh diri. Dengan demikian, informasi itu akan dapat bermanfaat bagi banyak komunitas, ras, etnis, dan imigran yang berbeda.

Amelia saat ini sedang melakukan penelitian untuk meraih gelar PhD di Johns Hopkins University Bloomberg School of Public Health, Baltimore. Ia merupakan Muslim Amerika pertama yang dipilih mendapat beasiswa dari National Institute of Health (NIH) Amerika Serikat untuk penelitian kesehatan mental Muslim.

Bagaimana Amelia tergerak untuk mendalami masalah kesehatan mental?

"Saya benar-benar merasakan panggilan yang kuat untuk bekerja dalam komunitas Muslim. Saat awal kuliah S2 Kesehatan Masyarakat di Columbia Mailman School Public Health di New York tahun 2015, saya memilih bidang maternal health (kesehatan ibu hamil dan pascamelahirkan). Saat itu saya dan teman-teman berpikir tidak mungkin bahwa Trump akan menjadi presiden. Namun saya kemudian mulai belajar bagaimana supremasi kulit putih bekerja dan bagaimana kondisi tidak seimbang itu mempengaruhi kehidupan banyak orang."

"Saya mulai menyadari bahwa kesehatan mental saya terganggu. Saya adalah seorang Muslim yang 'terlihat' karena mengenakan hijab dan fenotipe (penampilan fisik dan sifat) yang salah diartikan sebagai orang Arab. Karena itu tampak jelas bagi saya bahwa saya mungkin bukan satu-satunya orang yang menderita masalah kesehatan mental dan bukan pula satu-satunya yang tidak ingin Trump menjadi presiden, karena berpikir mimpi buruk itu akan hadir kembali," ujar Amelia, seperti dilansir Muslim Girl.

Menurut Amelia, ada banyak pemahaman yang belum tersosialisasikan dengan baik terkait kesehatan mental Muslim, terutama yang berkaitan dengan budaya dan ras. Tak ada cukup penelitian yang berbicara tentang pengalaman Muslim.

Hal itu salah satunya disebabkan karena komunitas Muslim di Amerika tidak memiliki tempat khusus untuk dikunjungi, untuk belajar mengenali diri sendiri, dan untuk mendapat pengetahuan tentang bagaimana mencegah gejala gangguan kesehatan mental yang berasal dari depresi dan kecemasan.

Dengan kesadaran itu, Amelia kemudian meninggalkan bidang maternal health dan fokus pada kesehatan mental. Pada tahun 2016, ia mulai menghubungan potongan-potongan 'puzzle' yang ia lihat, dengar, dan alami sendiri dengan melakukan penelitian.

"Saya ingin melihat apakah ada hubungan antara menjadi Muslim, mengalami diskriminasi Islamofobia, dan memiliki gejala studi kecemasan depresi klinis. Yang mengejutkan saya, 59% dari 340 partisipan penelitian ternyata memenuhi batas klinis untuk diagnosis gangguan depresi mayor (depresi yang membuat penderitanya merasa sedih dan putus asa sepanjang waktu). Saya tahu saya harus melakukan sesuatu dan tidak boleh berhenti," kenang Amelia.

Ia tahu kurangnya "ruang aman" bagi Muslim Amerika selain di masjid maupun organisasi komunitas, terlebih bagi para anak muda yang sedang mencari jati diri dan memerlukan "ruang aman" tersebut. Karena itulah Amelia melakukan metode community-based participatory research (CBPR) untuk bisa sampai ke akar rumput. Dan untuk itu ia membutuhkan dukungan dari para pemimpin komunitas Muslim.

"Tantangan terbesar bagi saya adalah karena tidak ada data yang tersedia untuk memandu langkah saya untuk merumuskan "ruang  aman" yang sesuai dan efektif bagi komunitas Muslim Amerika. Saya terus mencari tokoh-tokoh yang menaruh perhatian tentang kesehatan mental Muslim untuk bisa bertukar pikiran dengan mereka," ujar Amelia.

Mengapa konsep kesehatan mental belum mengakar di komunitas Muslim?

Secara sederhana, Amelia mengisyaratkan bahwa membicarakan kesehatan mental masih menjadi hal asing yang cenderung tabu. Memberi contoh dari pengalaman pribadinya, banyak orang mempertanyakan mengapa ia memilih menghancurkan norma sosial dengan 'mengekploitasi' perjuangan kesehatan mentalnya demi menjadi peneliti kesehatan mental.

Ia juga kehilangan kredibilitas di kalangan profesional karena dituntut untuk neurotipikal (normal) dan berbadan sehat. Hal yang menurutnya tidak manusiawi karena memaksanya melupakan pengalaman pribadi sebagai penyintas bunuh diri.

Amelia berpendapat ada lebih banyak kematian akibat bunuh diri yang ditutupi dan tidak dilaporkan. Penyebab kematian itu harus jelas agar masyarakat bisa melihat urgensi masalahnya. Dengan umat Muslim melaporkan upaya bunuh diri dengan kemungkinan dua kali lipat dari penganut agama lain, masyarakat seharusnya bisa menyadari bahwa ini hal yang besar. Jika pun tidak bunuh diri, ada banyak orang mengalami depresi, cemas, dan memiliki keinginan untuk melukai diri sendiri.

Ia mengaku akan terus menggaungkan kesehatan mental di tengah komunitas Muslim. Terlebih lagi di era digital saat ini, generasi Z menjalani kehidupan sosial secara global dalam waktu singkat. Jika tidak memiliki fondasi kesehatan mental yang baik untuk memahami diri sendiri, akar budaya, dan keislaman, akan sangat mudah untuk terpuruk dalam depresi.




Memaknai Hakikat Perempuan Hebat dari Sosok Mooryati Soedibyo: Empu Jamu Indonesia hingga Menjadi Wakil Rakyat

Sebelumnya

Mooryati Soedibyo Tutup Usia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Women