Pembangunan Masjid Agung Djenne di Mali/ Net
Pembangunan Masjid Agung Djenne di Mali/ Net
KOMENTAR

JEJAK peradaban Islam dapat kita temui di tanah Afrika. Salah satu wilayah di Afrika yang pernah menjadi saksi kejayaan peradaban Islam adalah Kota Djenne, salah satu kota tertua yang dikenal di sub-Sahara Afrika.

Kota yang terletak di wilayah Pedalaman Delta Niger di Mali tengah ini merupakan pusat penyebaran Islam di Afrika pada abad 15 dan 16, dan masih menjadi penggambaran arsitektur Islam yang luar biasa.

Middle East Monitor menuliskan, karakter kota kuno ini dibentuk oleh penggunaan tanah yang spektakuler dan rumit dalam arsitekturnya. Kota ini adalah rumah bagi sejumlah besar rumah tanah liat yang menawan dan menyatu dengan alam sekitarnya.

Salah satu yang membuat takjub adalah Masjid Djenne, yang seluruhnya terbuat dari lumpur. Dilihat dari penampakan luarnya, Masjid "Lumpur" ini minim sekali ornamen. Hanya tampak tumpukan tanah yang dibentuk sedemikian rupa, sehingga berbentuk masjid yang megah.

Dibangun sekitar Abang ke-13 oleh arsitektur Sudano-Sahelian, pada masa Raja Koi Konboro, penguasa ke-26 Djenne dan sultan muslim pertama.

Masjid Agung ini sudah dibangun setidaknya dua kali sejak pembangunan pertama, yaitu pada 1220 dan 1907. Strukturnya saat ini sudah berusia sekitar satu abad.

Karena murni terbuat dari tanah liat, ketika masuk ke dalamnya sungguh sangat sejuk. Apalagi ditambah penyekatan alami, membuat Rumah Allah ini sungguh adem meski di musim kemarau.

Aula masjidnya merupakan Situs Warisan Dunia UNESCO dan menjulang setinggi hampir 20 meter.

Dilengkapi 3 menara yang khas dan ratusan batang pohon palem yang disebut 'toron' yang menancap dan menonjol dari fasadnya. Toron inilah yang menopang dan membuat plesteran ulang lebih mudah.

Dibangun Setahun Sekali

Dinding Masjid Agung Djenne "dibangun" setiap April dalam acara yang disebut Crepissage (memasang stiker).

Sama seperti bangunan lain di sana, struktur bangunan Masjid Djenne membutuhkan penguatan setiap tahun. Ini guna menghadapi musim hujan ekstrem yang terjadi setiap Juli dan Agustus.

Ketika Crepissage berlangsung, setiap dusun mengirimkan anggotanya untuk berlomba memplester ulang masjid. Mereka diawasi oleh serikat kerja yang terdiri dari 80 tukang batu senior.

Kelompok pemuda yang mewakili tiap dusun memenuhi muka bangunan sambil membawa keranjang anyaman yang dipenuhi tanah liat basah. Mereka lalu menempelkan tebal-tebal tanah liat ke dinding masjid.

Masing-masing kelompok bersaing dan kemenangan sangat membanggakan. Mereka akan menerima hadiah sebesar 50.000 Franc CFA Afrika Barat atau sekitar Rp 1,1 juta. Jumlah itu sangat tinggi, mengingat penghasilan warga sekitar per harinya hanya Rp 17.500.




Din Syamsuddin Jadi Pembicara dalam Sidang Grup Strategis Federasi Rusia-Dunia Islam di Kazan

Sebelumnya

Buku “Perdamaian yang Buruk, Perang yang Baik” dan “Buldozer dari Palestina” Karya Teguh Santosa Hadir di Pojok Baca Digital Gedung Dewan Pers

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News