Tak ada kata terlambat untuk memantaskan diri menjadi pemenang sejati di hari nan suci/ Net
Tak ada kata terlambat untuk memantaskan diri menjadi pemenang sejati di hari nan suci/ Net
KOMENTAR

KITA kerap mengidentikkan Idul Fitri dengan kemeriahan hari raya. Tentang berkumpulnya keluarga besar. Pertemuan dengan sanak saudara dalam suasana silaturahim penuh canda tawa. Serta tentu saja segala ‘pernak-pernik’ raya; tampilan serba baru dan aneka hidangan lezat yang mungkin hanya tersedia di saat lebaran.

Syukurnya, Nabi Muhammad punya kisah syahdu di hari raya, yang lain dari pada yang lain, yang hendaknya menggugah diri kita untuk kembali menata ulang makna hari raya. Kisahnya berikut ini dikutip, dikembangkan dan diceritakan ulang dari kitab Shahih Bukhari:

Keceriaan merona di wajah-wajah kaum muslimin, tatkala menyambut hari raya penuh suka cita. Semuanya bergembira, karena inilah hari kemenangan. Anak-anak pun bermain ceria bersama teman-teman sebaya.

Tetapi mata cinta Rasulullah menangkap ada nuansa murung, di sebuah sudut terlihat anak perempuan meneteskan airmata, pakaian yang dikenakannya kusam, dari wajahnya merona kepedihan. Maka Nabi Muhammad pun mendekati, dan menanyakan sebab musabab keperihannya.

Ternyata dia adalah anak yatim, ayahnya mati syahid berperang membela agama Allah. Nabi Muhammad berkata penuh kasih, “Maukah engkau Nabi Muhammad menjadi ayahmu, Aisyah menjadi ibumu dan Fatimah menjadi saudaramu?”

Maka mendung kelam itu pun sirna tatkala bocah itu mendengar tawaran yang demikian indah. Maka Nabi Muhammad membawanya pulang, kemudian diberi makanan terbaik dan pakaian yang layak. Maka di hari raya anak itu pun tertawa bahagia. Dia pun bermain ceria membaur dengan percaya diri bersama anak-anak lainnya.

Teman-temannya terheran-heran melihat perubahan anak itu yang teramat dramatis, dari menangis menjadi ceria, dari lapar menjadi kenyang, dari lusuh menjadi cemerlang, dari kesedihan menjadi kebahagiaan. Apa yang telah terjadi?

Anak itu menceritakan, “Bagaimana aku tidak senang, kalau Rasulullah menjadi ayahku, Aisyah sebagai ibuku dan Fatimah saudaraku.”

Mari kita membayangkan sesuatu yang indah, atau malah teramat indah. Tentang kesucian hati yang diperoleh dari hasil penyucian diri selama Ramadhan, dimana kesalehan itu membuat hati kita tertarik melakukan amalan-amalan kebajikan¸ sebagaimana yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah tersebut.

Apakah kita tidak tertarik membantu sesama hamba Allah, bahkan tidak terpikat sedikit pun dengan kisah kebajikan? Jangan-jangan hati kita belum suci di hari raya. Barangkali hati kita telah mati suri karena tak mampu berempati pada air mata kepedihan yang mengucur di saat kita tertawa ceria menyambut hari raya.

Apabila itu terjadi, maka merugilah orang-orang yang Ramadhannya gagal menyucikan hingga ke relung hatinya. Dari rangkaian panjang ibadah Ramadhan, sejatinya diri kita telah kembali kepada fitrah, kembali menjadi manusia sejati, yang kita rayakan penuh rasa syukur di hari kemenangan ini.

Agama menyebut hari raya dengan Idul Fitri tentulah menyimpan maksud dan tujuan yang agung. Sudah sepatutnya kaum muslimin memahami makna Idul Fitri, agar tidak salah paham atau salah kaprah di hari kemenangan.

Dengan apik Nurcholish Madjid menerangkan pada buku 32 Khutbah Jumat Cak Nur, Idul Fitri artinya hari raya fitrah. Hari raya kesucian manusia. Disebut juga sebagai hari kembalinya kesucian kepada kita. Manusia pada dasarnya adalah suci. Oleh karenanya sikap-sikap manusia pun selayaknya menunjukkan sikap-sikap yang suci. Terutama terhadap sesama manusia.

Maka kemudian ada ungkapan bahwa manusia itu suci dan berbuat suci kepada sesamanya dalam bentuk amal saleh. Fitrah terkait dengan hanif. Artinya, suatu sifat dalam diri kita yang cenderung memihak kepada kebaikan dan kebenaran.

Kita dapat dengan mudah menilai sebuah kain bersih atau kotor. Apabila kain itu bernoda, tidaklah dapat kita menyebutnya bersih. Lain halnya dengan hati. Secara kasat mata kita tidak tahu ia sedang dalam keadaan bersih atau kotor. Meskipun itu adalah hati sendiri, manusia sering tak mampu menilai kebersihannya. Karena sulit untuk berkata jujur menilai kekurangan diri sendiri.

Syukurnya, alhamdulillah, ada banyak petunjuk dari ajaran Islam yang dapat dijadikan pedoman tentang kesucian hati. Di antaranya dari petikan kisah hari raya Rasulullah tersebut, yang mana, kesucian hati akan dapat kita ketahui dari kecenderungannya kepada apa.

Apabila hati kita lekas tergugah dengan kebaikan dan senang mengerjakan kebajikan, maka bersyukurlah, hati kita itu telah bersih dan layak disebut sebagai pemenang Idul Fitri.

Lain ceritanya kalau hati kita itu tidak tergugah dengan amal baik, malah cenderung kepada keburukan atau kejahatan, maka berhati-hatilah! Jangan-jangan hati kita belum suci dan belum pantas merayakan kemenangan di hari raya.

Selamat Idul Fitri. Tak ada kata terlambat untuk memantaskan diri menjadi pemenang sejati di hari nan suci.

 

 

 




Menyikapi Toxic People Sesuai Anjuran Al-Qur’an

Sebelumnya

Ketika Maksiat dan Dosa Menjauhkan Kita dari Qiyamul Lail

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur