Pemerhati Hubungan Internasional yang juga wartawan senior, Teguh Santosa, saat menjadi narasumber dalam perbincangan RMOL World View, Senin (26/04/2021)/ FARAH
Pemerhati Hubungan Internasional yang juga wartawan senior, Teguh Santosa, saat menjadi narasumber dalam perbincangan RMOL World View, Senin (26/04/2021)/ FARAH
KOMENTAR

AFGHANISTAN menjadi sebuah nama yang identik dengan perang, kekerasan, penindasan, dan teror.

Teguh Santosa, wartawan senior sekaligus pemerhati hubungan internasional mengenang perjuangannya meliput konflik Afghanistan di tahun 2001. Ia memilih untuk masuk ke Afghanistan melalui Uzbekistan, negara yang kala itu masih asing di telinganya.

Menariknya, meski tak bisa menyentuh pusat konflik di Kabul, Bang Teguh—biasa ia disapa, menemukan banyak kisah berharga sejak kedatangannya di Uzbekistan.

Mulai dari kisah makam Imam Tirmidzi di kota Termez, makam Imam Bukhari di Samarkand, juga nama besar Soekarno yang pernah datang ke Uzbekistan di era tahun 1950-an. Ditambah lagi, Uzbekistan pernah menjadi pintu masuk pasukan Soviet ke Afghanistan selama tahun 1979-1989 sekaligus pintu keluar saat mengakhiri invasinya.

Beragam kisah berharga tadi dituangkan Bang Teguh dalam buku Di Tepi Amu Darya. Amu Darya adalah nama sungai yang menjadi perbatasan antara Afghanistan dan Uzbekistan. Di sanalah Bang Teguh memantau perang.

Akankah damai hadir di bumi Afghanistan? Ada banyak harapan sekaligus keraguan tentang hal itu.

Termasuk mempertanyakan kesiapan bangsa Afghanistan untuk bersatu dan membangun negaranya.

Setelah bercokol di Afghanistan selama 20 tahun, Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyatakan siap menarik tentara Amerika Serikat dari tanah Afghanistan pada 11 September mendatang. Menurut Biden, hal ini untuk mengakhiri 'perang abadi' yang tak kunjung usai di tanah Afghanistan.

Pro kontra pun mewarnai keputusan Biden.

Mereka yang tidak setuju mengatakan bahwa berada di Afghanistan adalah salah satu tugas militer AS untuk menjaga perdamaian dunia, terutama mencegah teror dari kelompok militan.

Melihat ada kemajuan saat ini seperti misalnya dalam hal pendidikan dan kesempatan berkarir bagi perempuan, penarikan pasukan AS ditakutkan membuat Taliban berkuasa penuh dan kembali menyandera kebebasan tersebut.

Mereka bahkan menganggap rencana penarikan pasukan pada 11 September dianggap sangat menyakiti perasaan keluarga para korban 9/11.

Sebaliknya, mereka yang menyetujui rencana Biden mengatakan bahwa ini saatnya mengakhiri pemborosan tentara, anggaran militer, dan campur tangan dalam perang tak berujung di Afghanistan.

Entah berapa banyak tentara yang mengalami trauma berkepanjangan juga biaya tak sedikit yang dikeluarkan AS selama 20 tahun.

Menyimak perkembangan tersebut, Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia itu menyatakan kekhawatirannya. "Saya termasuk orang yang masih curiga apakah Taliban bisa terlibat dalam proses politik yang demokratis. Jangan sampai ini (penarikan pasukan) dijadikan pintu masuk (bagi Taliban)," ungkap Bang Teguh dalam perbincangan RMOL World View, Senin (26/04/2021).

Bang Teguh menambahkan bahwa ia pernah menyampaikan kekhawatiran tersebut ke teman-teman Afghanistan. Tapi mereka mengatakan, jika tidak sekarang, kapan lagi mereka bisa memulai kehidupan. Mereka merasa bantuan komunitas internasional selama 20 tahun sudah cukup.

"Yang menarik adalah pernyataan Dubes Afghanistan di Jakarta yang sekarang bertugas sebagai Dubes Afghanistan Untuk AS, H. E. Roya Rahmani. Ia mengatakan bahwa konflik internal di negaranya sebenarnya hanya terjadi pada kurun 1992 – 1996."

Ketika itu terjadi perang saudara antara sesama kelompok mujahidin yang sebelumnya bersatu untuk mengusir Uni Soviet. Setelah berhasil memukul mundur Soviet dan tak ada lagi musuh bersama, mereka menjadi sibuk dengan diri mereka sendiri.

Barulah Taliban datang belakangan, melihat bahwa kelompok-kelompok tersebut tidak bisa mengurus negara karena hanya memikirkan kepentingan kelompok dan kepentingan pribadi.

Lepas dari kurun waktu tersebut, menurut Roya Rahmani, yang terjadi adalah konflik regional. Perang antara negara-negara yang memiliki kepentingan di kawasan, yang apesnya, mandalanya (medan pertempuran) berada di Afghanistan.

"Menggunakan perspektif itu, kelihatannya tidak masalah bagi rakyat Afghanistan bekerja sama dengan sesama anak bangsa, dari mana pun partai atau kelompoknya. Sepintas seperti itu, " ujar Bang Teguh.

Meski demikian, Bang Teguh mengatakan bahwa mantan Direktur Inteligen Amrullah Saleh pada tahun 2017 mengundurkan diri karena termasuk pihak yang menentang (Taliban). Dalam kapasitasnya sebagai kepala badan inteligen, Saleh menilai amat berbahaya mengundang Taliban masuk dalam proses demokrasi.

Dengan hengkangnya AS dari Afghanistan, apakah Cina akan mengambil alih posisi tersebut?

Menurut Bang Teguh, Cina bisa saja merasa penting untuk merapat ke Afhanistan untuk me-maintain radikalisme masyarakat Uyghur. Namun skenario itu tentu sudah terbaca oleh AS.




Rakerkesnas 2024, Presiden: Indonesia Harus Bisa Manfaatkan Bonus Demografi

Sebelumnya

Tak Lagi Berstatus Ibu Kota, Jakarta Siap Melesat Jadi Pusat Perdagangan Dunia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News