Ilustrasi buka puasa bersama/ Net
Ilustrasi buka puasa bersama/ Net
KOMENTAR

ENTAH bagaimana cara yang tepat merespons kejadian berikut ini; entah lucu, aneh, konyol, ganjil atau mungkin ngawur, atau barangkali semuanya campur aduk.

Di sebuah daerah, terdapatlah anak-anak muda. Mereka kerja serabutan, kalau lagi sepi ya terpaksa nganggur, terkadang luntang-luntung tak jelas. Ada yang melabeli mereka pengangguran, bahkan ada yang mencap preman. Apapun sebutannya, ternyata mereka ini tetap berpuasa Ramadhan. Salut!

Akan tetapi mereka punya kebiasaan tersendiri dalam mengakali puasa. Semalaman mereka begadang tidak tidur sepicing pun, hanya berkumpul ngalor-ngidul. Usai sahur mereka pun berkumpul lagi, sekadar jalan-jalan atau ngobrol. Baru ketika matahari pagi bersinar terang, maka mereka pun tidur.

Kapan bangunnya? Ternyata, mereka bangun sekitar jam 5 sore.

Bagaimana dengan shalat Zuhur dan Ashar, ah tak perlu ditanyalah! Siapapun akan mudah menebaknya.

Kenapa memilih tidur demikian panjang, dari pagi hingga sore? Ya, begitulah cara mereka menyiasati rasa lapar dengan memilih tidur amat lama. Bahkan mereka punya trik tersendiri, misalnya mandi dulu sebelum tidur pagi, jadi tidak perlu sakit kepala akibat tidur terlalu lama.

Dengan siasat ini, “Puasa tidak terasa,” ujar mereka.

Kendati di antaranya sampai disebut preman, rupanya mereka lumayan takut dengan rasa lapar, sehingga memproduksi dan mengamalkan trik tersendiri, yang mungkin cukup ekstrim.

Apesnya, salah seorang pernah terkena sial. Tidurnya terganggu, hingga terbangun jam 1 siang, meski berulang kali dicoba tidur kembali tetapi mata tak kunjung terlelap.

Akibatnya, apalah daya, dari siang hingga berbuka puasa ia merintih-rintih dirajam rasa lapar yang perih. Padahal ketika sahur makannya banyak, malahan pakai acara nambah segala. Bencana lapar yang menimpa itu membuat rekan-rekannya ikut syok, lalu mereka berupaya mencari cara agar tidur panjang tidak terganggu.

Kisah ini hanyalah contoh, kita tidak perlu memberika stigma apapun, karena tentu di tempat-tempat lainnya juga banyak orang yang memilih tidur panjang demi mengakali terhindar dari laparnya berpuasa.

Tentunya kisah ini tidaklah untuk diteladani. Karena puasa itu untuk merasakan lapar dan dahaga. Namun ada hal berbeda yang perlu direnungkan tentang ketakutan manusia terhadap lapar, terlebih preman sekalipun ternyata hilang kegarangannya tatkala dihajar kelaparan.

Adakah hikmah lain dari Tuhan menciptakan rasa lapar? Mengapa kita tidak diciptakan bak malaikat saja, tak perlu repot dengan lapar dahaga?

Lapar itu menyakitkan. Demikianlah normalnya yang dirasakan manusia, termasuk makhluk hidup lainnya. Jangan heran bila demi masa depan sebidang perut, manusia pun bisa saling terkam, bukan hanya binatang, manusia pun punya aksi kanibalisme.

Tetapi, lain lagi dengan Islam yang memberikan perspektif berbeda tentang rasa lapar. Islam mengenalkan salah satu ibadah, berpuasa sebulan penuh. Puasa ya jelas merasakan lapar dong.

Ramadhan itu baru puasa wajib, masih ada puasa sunah lainnya semisal setiap Senin Kamis. Ada lagi puasa sunah selang-seling hari, puasa Nabi Daud.

Tentunya, dengan ibadah puasa ini, agama Islam tidak sedang menganiaya umatnya. Tidak sama sekali. Lagi pula tidak ada orang yang mati karena berpuasa. Karena puasa ini dibingkai amat manusiawi, ada makan sahur dan berbuka puasa yang juga berpahala dalam mengerjakannya.

Lapar dalam berpuasa itu besar hikmahnya, dan banyak pula pahalanya. Ini bukan lapar yang semena-mena. Kaum muslimin dilatih merasakan lapar, karena ada cinta yang terpendam di baliknya.

Agar dapat meresapi cinta di balik rasa lapar, mari kita renungkan kisah berikut ini:

Ketika itu musyrikin Quraisy menghimpun suku-suku Arabia menyerbu Madinah, hingga bergeraklah pasukan yang terbesar dalam sejarah perang Arab. Sekalipun Nabi Muhammad mengerahkan seluruh kaum muslimin Madinah, termasuk anak-anak serta kakek nenek pun, tidak akan mengimbangi jumlah musuh. Lalu muncullah ide brilian membuat benteng paling ganjil, yang tidak dikenal bangsa Arab, yakni menggali parit.

Nah, kerja menggali parit di gurun pasir bukanlah urusan gampang. Dan semakin berat disebabkan kelaparan yang melanda kaum muslimin. Saking laparnya, di antara mereka sampai mengganjal perut dengan batu. Ya, sekadar menghibur gejolak perut sih, mana mungkin bisa kenyang dengan batu.

Abu Asy-Syaikh Al-Ashbahani Abdullah Mu’alim dalam buku Meneladani Akhlak Nabi menerangkan, Abu Thalhah bercerita, “Kami mengeluhkan rasa lapar kepada Nabi saw. sambil melepaskan batu yang terikat pada perut kami, masing-masing satu batu; ternyata Nabi saw. sendiri melepaskan dua batu dari perutnya.

Ini kisah nyata, bukan kampanye politik. Dan agak sulit mencari kepala negara yang sampai mengingat perutnya dengan batu, saking beratnya cobaan lapar. Rata-rata kalau sudah punya jabatan, tubuh orang itu akan makin tambun dengan perut kian menonjolkan diri. Tidaklah demikian dengan Rasulullah, saat rakyatnya kelaparan hingga mengikat perut dengan satu batu, beliau merasakannya dua kali lipat.

Tidak ada orang yang hina disebabkan lapar, karena lapar itu juga adalah guru yang baik. Lapar akan mengajarkan, di antaranya:




Memahami Faedah Bertawakal untuk Membebaskan Diri dari Penderitaan Batin

Sebelumnya

Menjadi Korban Cinta yang Salah

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur