Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

MANUSIA merupakan makhluk ciptaan Allah Swt. yang paling sempurna dibandingkan makhluk lainnya. Selain akal yang dianugerahkan Allah hanya kepada manusia, kita pun dianugerahi hati yang menjadi ‘pusat’ dari segala aktivitas kita di dunia.

Begitu pentingnya fungsi hati, Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa menjaga kebersihan dan kesucian hati. Ketika kita mulai lalai dan abai, maka akan bermunculan bermacam penyakit hati yang bisa mengotori dan merusak hati manusia.
 
Sebaliknya, siapa yang mampu menjaga kebersihan dan kesucian hati akan terhindar dari hal-hal yang dapat merugikannya. Ia akan menjadi manusia yang dicintai dan disegani di mana pun ia berada. Hati yang bersih juga mengantarkannya menjadi insan yang senantiasa lillahi ta’ala menjalankan kebaikan dalam kesehariannya.

Syekh Ibnu Atha’illah dalam Al-Hikam menerangkan tentang tanda matinya hati manusia. Ada dua hal yang harus diwaspadai, yaitu ketika kita tidak merasa sedih kala tertinggal dari orang lain dalam mengerjakan kewajiban dan amal baik serta ketika kita tidak menyesal setelah berbuat dosa.

Kita seringkali tidak menyadari bahwa dua isyarat tersebut sebenarnya telah hadir di dalam hati. Sayangnya, ketika itu terjadi, hati kita seolah telah tertutup hingga kita tak mampu merasakan ada yang salah dalam diri kita. Karena itulah kita harus berintrospeksi diri sesering mungkin. Jika kita melihat tanda-tanda itu ada pada kita, segeralah mengingat Allah dan memohon ampun.

Penjelasan Syekh Ibnu Atha’illah tersebut dilengkapi lagi oleh Ustaz Bahreisy dalam Terjemah Al-Hikam, yang mengutip sabda Rasulullah saw.

Nabi Muhammad saw. bersabda, "Siapa yang merasa senang oleh amal kebaikannya dan merasa sedih atau menyesal atas perbuatan dosanya, maka ia seorang mukmin (beriman)."

Abdullah bin Mas'ud berkata, "Ketika kami dalam majelis Rasulullah saw., tiba-tiba datang seseorang yang turun dari kendaraannya kemudian mendekat kepada Nabi Muhammad saw.

Ia berkata, "Ya Rasulullah, saya telah membuat lelah kendaraan saya selama sembilan hari, saya jalankan terus selama enam hari, tidak tidur di waktu malam dan puasa di siang hari.

Keperluannya hanya untuk menanyakan kepadamu dua masalah yang merisaukan hatiku hingga tidak bisa tidur." Rasulullah saw. bertanya, "Siapa kamu?" Jawabnya, "Zaidul-Khoir."
Rasulullah saw. berkata, "Zaidul-Khoir, tanyakan sesuatu yang sulit itu, aku sudah pernah ditanya soal yang sulit itu."

Zaidul-Khoir berkata, "Saya sekarang suka ke amal kebaikan dan orang-orang yang melakukan amal kebaikan. Bahkan suka dengan tersebarnya amal kebaikan itu. Bila aku ketinggalan berbuat amal baik, aku merasa menyesal dan rindu melakukan amal baik. Jika aku melakukan amal sedikit atau banyak, aku tetap yakin akan pahalanya."

Rasulullah saw. menjawab, "Ya itulah dia, andaikan Allah tidak suka kepada kamu, tentu kamu disiapkan untuk melakukan yang lain selain itu, dan tidak peduli di jurang mana kamu akan binasa."

Zaidul-Khoir menjawab lagi, "Cukup-cukup,” lalu ia berangkat kembali setelah menaiki kendaraannya.

Kita hendaknya meyakini bahwa Allah yang membolak-balik hati manusia. Pilihannya hanya dua: merasa bersalah atau tidak merasa bersalah ketika melakukan maksiat dan meninggalkan kebaikan.

Karena itulah, kita sepantasnya harus bersyukur manakala kita dihinggapi perasaan bersalah jika tidak melaksanakan sebuah perbuatan baik. Dan kita harus segera memperbaiki diri manakala kita tidak merasakan apa pun saat berbuat salah atau saat meninggalkan kewajiban maupun yang disunnahkan.

Memang betul, Hak Allah-lah untuk sepenuhnya membuka atau menutup hati kita. Namun alangkah lebih bijak kita ‘meraba’ diri kita sendiri untuk memastikan apakah hati kita telah tertutup noda. Yang perlu kita lakukan adalah membersamai diri kita secara utuh dan objektif.

Allah Maha Pengampun dan Maha Pemberi hidayah. Semoga kita semua termasuk yang hamba yang dirahmati dan diberi hidayah-Nya.

 

 




Mematahkan Mitos Menikah di Bulan Syawal

Sebelumnya

Menyibak Rahasia Syawal

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur