KOMENTAR

SEORANG ulama pernah menuturkan, “Sungguh mengherankan orang yang menangisi kematian jasadnya, tetapi tidak menangis ketika hatinya mati, padahal kematian hati sungguh lebih berbahaya.” (Said Abdul Azim dalam buku Agar Hati Lebih Hidup [2011: 4])

Marilah sama-sama terkesan dengan pesan ini, terlebih siapapun mestinya menyadari bahwa matinya hati lebih berbahaya daripada matinya jasad. Bukankah seruan hati yang membuat manusia terpanggil kepada jalan kebenaran dan keadilan?

Bayangkan! Orang-orang yang berkeliaran kesana-kemari dengan hatinya yang sudah mati, apa yang dilakukan oleh manusia yang tidak punya hati? Dia bagaikan zombie, jasadnya bergerak tapi hatinya mati, tidak berperasaan tapi bernafsu memangsa manusia lainnya.

Dari itulah Nabi Muhammad punya perhatian besar terhadap masalah ini, para ulama pun cukup rajin mengkaji sebab musabab matinya hati, dan berupaya menemukan solusi yang diharapkan menyembuhkannya. 

Kutipan berikut ini memberikan gambaran detail perkara sebab musabab matinya hati. Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi pada buku NashaihulIbad (2017: 273-274) menerangkan:

Orang yang bertanya itu selanjutnya berkata, “Padahal kami sudah sering berdoa, tetapi Allah tetap tidak mengabulkan doa kami.”

Ibrahim bin Adham kemudian berkata, “Wahai penduduk Basrah, sesungguhnya hati kalian telah mati oleh sepuluh sebab, maka bagaimana mungkin Allah mengabulkan doa kalian. Kesepuluh faktor yang menyebabkan hati kalian mati adalah:

1.   Kalian mengenal Allah, tetapi tidak mau menunaikan hak-hak-Nya.

2.   Kalian suka membaca kitab Allah, tetapi tidak mau mengamalkannya.

3.   Kalian mengetahui iblis itu musuh, tetapi tetap mengikuti perintahnya.

4.   Kalian menyatakan cinta kepada Rasulullah saw., tetapi meninggalkan sunnahnya.

5.   Kalian menyatakan cinta surga, tetapi tidak mau mengamalkan amalan ahli surga.

6.   Kalian mengakui takut siksa neraka, tetapi tetap saja berbuat dosa.

7.   Kalian meyakini bahwa kematian itu haq, tetapi tidak pernah menyiapkan bekal menghadapinya.

8.   Kalian selalu memperhatikan aib orang lain, tetapi tidak mau memperhatikan aib diri sendiri.

9.   Kalian senang makan rezeki Allah, tetapi tidak pernah bersyukur kepada-Nya.

10. Kalian sering mengubur orang mati, tetapi tidak mau mengambil pelajaran darinya.”

Sebab musabab di atas telah cukup terperinci dan cukuplah menjadi rujukan dalam menakar sudah mati atau belum hati kita. Kalau mau diperluas lagi, sungguh banyak sekali penyebab matinya hati, tetapi jika ditarik ke pangkal kita akan mengetahui tumpukan dosa itulah yang berperan besar mematikan hati.

Pada dasarnya, sebab utama matinya hati adalah perbuatan maksiat yang berujung pada pekatnya dosa-dosa.  Said Abdul Azim (2011: 5) mengutip, oleh karena itu, Ibnul Mubarak rahimullah berkata, “Saya melihat dosa itu mematikan hati, bahkan dapat melemahkannya jika bertumpuk banyak. Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati, adalah lebih baik jika engkau tidak turut pada nafsumu.”

Berhati-hatilah bila saat berbuat dosa kita malah santai-santai saja menganggapnya biasa, sebab tidak adanya isyarat hati untuk menolak perbuatan maksiat sudah menjadi pertanda matinya hati. Tidak adanya sinyal hati agar menjauhi perbuatan dosa sudah pertanda buruk bagi kehidupan seorang insan. Karena dengan demikian, tidak ada lagi hati yang akan mencegahnya dari keburukan dan mendorongnya kepada kebaikan.

Lantas bagaimana caranya menghidupkan hati, membuatnya senantiasa bernyawa?

Hal demikian sudah diwanti-wanti oleh Nabi Muhammad saw. dalam hadis sucinya. Sebagaimana Said Abdul Azim (2011: 5) menyebutkan, dari Hudzaifah bin al-Yaman, Rasulullah saw. bersabda, “Ketaatan itu adalah cahaya bagi wajah dan kekuatan bagi badan, sedangkan maksiat adalah sebaliknya.”

Jadikanlah hati kita senantiasa hidup, dengan cara selalu menjaga ketaatan kepada Allah dan Rasulullah. Jadikanlah hati itu terus bercahaya agar tetap memberi petunjuk bagi kebenaran hidup. Karena betapa banyak keburukan yang ditimbulkan apabila manusia yang tubuhnya bernyawa tetapi hatinya malah mati. Karena kita adalah manusia sejati, bukannya zombie.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur