Direktur Pelayanan Audit Halal LPPOM MUI Dr. Muchlis saat menjadi narasumber dalam Bincang Sehat RMOL.id bertajuk
Direktur Pelayanan Audit Halal LPPOM MUI Dr. Muchlis saat menjadi narasumber dalam Bincang Sehat RMOL.id bertajuk "Kupas Tuntas Vaksin AstraZaneca", Jumat (26/03/2021)/ FARAH
KOMENTAR

PERNYATAAN Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang kehalalan vaksin AstraZaneca menimbulkan reaksi pro kontra di masyarakat. Pihak yang kontra menyesalkan mengapa fatwa tersebut dikeluarkan setelah Indonesia menerima 1,1 juta vaksin AstraZaneca dari COVAC UNICEF.

Direktur Pelayanan Audit Halal LPPOM MUI Dr. Muchlis menjelaskan dua hal terkait pernyataan MUI tersebut.

Pertama, vaksin AstraZaneca didaftarkan untuk sertifikasi halal ke BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) Kementerian Agama dan LPPOM (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika) MUI. Assesment dilakukan berdasarkan data yang diberikan WHO dan AstraZaneca internasional serta hasil kunjungan ke Korea.

"Dalam review itu, LPPOM MUI menemukan bahwa ada penggunaan bahan turunan babi di fase awal pengembangan vaksin. Hal tersebut ada dalam data. AstraZaneca juga sudah menyampaikan tentang hal itu. Memang di hulu betul. Demikian juga di fase perbanyakan isolat virus, bahan turunan babi juga digunakan," ujar Dr. Muchlis, menyebut penggunaan enzim tripsin.

Kedua, di waktu bersamaan, ada permintaan Kementerian Kesehatan untuk MUI menerbitkan fatwa penggunaan vaksin AstraZaneca. Yang nantinya akan menjadi salah satu dasar dikeluarkannya izin EUA (Emergency Use Authorization) oleh BPOM RI.

Untuk diketahui, EUA di Indonesia dikeluarkan BPOM RI berdasarkan standar ketentuan dan kriteria. EUA dikeluarkan dengan persyaratan yang telah melalui tahap uji klinis dan pemantauan farmakovigilans (kegiatan pendeteksian, penilaian, pemahaman, dan pencegahan efek samping atau masalah lain terkait penggunaan obat) yang ketat.

Menurut Dr. Muchlis, aplikasi sertifikasi halal dan fatwa penggunaan produk diputuskan oleh Komisi Fatwa MUI karena menjadi persoalan syariah. LPPOM menyediakan data bagi Komisi Fatwa untuk mengambil keputusan.

"Kami memahami prosedur atau kaidah yang selama ini digunakan Komisi Fatwa untuk menentukan status halal/ tidak. Salah satu poin yang sangat penting dalam konteks vaksin adalah tidak memperbolehkan adanya bahan turunan babi pada produk yang sedang disertifikasi. Nanti hasil fatwanya pasti produk ini haram. Penekanannya karena ada atau pernah ada bahan turunan babi meskipun pada produk akhirnya tidak ada. Itu dasar Komisi Fatwa memutuskan produk ini haram. Untuk sertifikasi, keputusannya begitu," jelas Dr. Muchlis.

Sedangkan terhadap permintaan Kemenkes, sejumlah data akan ditimbang apakah memenuhi syarat untuk disebut darurat dalam konteks syariah. Data dari LPPOM MUI tersebut dipasok Kemenkes, Biofarma, dan lembaga-lembaga lain. Data itulah yang menunjang bahwa vaksin ini boleh digunakan karena status kedaruratannya terpenuhi.

Dr. Muchlis juga menekankan bahwa bahasa yang digunakan MUI adalah mubah (diperbolehkan). Ini merupakan langkah MUI mendukung vaksinasi pemerintah.

"Memang betul, untuk menentukan fatwa ada manhaj; cara menentukan hukum yang berbeda antara negara-negara. Masing-masing punya dasar argumentasi. Namun terlepas dari kontroversi statusnya, ujungnya adalah diperbolehkan. Fatwa MUI Nomor 14 tahun 2021 bukan hanya membolehkan melainkan juga menekankan umat Islam untuk berperan aktif ikut vaksinasi. Mari kita lihat ujungnya, jangan di awalnya yang memang berbeda. Kami tidak bisa menutupi fakta yang diperoleh," ujar Dr. Muchlis.

Dr. Muchlis menegaskan data yang sama juga sudah dirapatkan MUI bersama Menteri Kesehatan, Kepala BPOM, Dirut Biofarma, dan Direktur AstraZaneca Indonesia Rizman Abudaeri. Memang akhirnya ada 2 hal yang berbeda: bahwa di hulu pernah ada enzim tripsin dan di hilir tidak ada. Keduanya benar.

"Saya sepakat untuk kita lebih fokus pada kesimpulan, bahwa vaksin AstraZaneca diperbolehkan dan direkomendasikan, juga agar umat Islam berperan aktif menyukseskan vaksinasi Covid-19 demi segera mencapai herd immunity," tegas Dr. Muchlis.

Dengan tantangan pandemi yang masih berat, Dr. Muchlis mengimbau umat Islam untuk lebih fokus pada fatwa "berikhtiar dan aktif berupaya mengatasi pandemi, ikut vaksinasi maupun taat protokol kesehatan.

Menanggapi pernyataan MUI, AstraZaneca menyampaikan pernyataan resmi sebagai berikut.

"Vaksin Covid-19 AstraZaneca tidak bersentuhan dengan produk turunan babi atau produk hewani lainnya. Kami menghargai pernyataan yang disampaikan MUI tapi penting dicatat bahwa vaksin Covid-19 adalah vaksin vektor virus yang tidak mengandung produk yang berasal dari hewan seperti yang telah dikonfirmasi oleh Badan Otoritas Produk Obat dan Kesehatan Inggris. Semua tahapan proses produksi vektor virus ini tidak menggunakan dan tidak bersentuhan dengan produk turunan babi atau produk hewani lainnya. Dan vaksin ini telah disetujui di lebih dari 70 negara di dunia."

Seperti diketahui, vaksin vektor viral adalah vaksin yang menggunakan virus untuk mengirimkan gen virus corona ke dalam sel dan memicu respons imun. Vaksin jenis ini pernah dikembangkan untuk vaksin Ebola dan terbukti aman pada manusia. Beberapa lembaga yang mengembangkan vaksin ini di antaranya adalah University of Oxford serta Johnson & Johnson.

 

 

 

 

 

 

 




Fokus pada Segmen Ritel, Bank Mega Syariah Perluas Jangkauan Nasabah untuk Halal Lifestyle

Sebelumnya

Direksi Minimarket di Malaysia Didakwa Menghina Agama karena Menjual Kaus Kaki Bertuliskan “Allah”

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News