Tawadhu’ pada hakikatnya merupakan kesadaran bahwa sesama manusia memiliki kedudukan yang sama di mata Allah/ Net
Tawadhu’ pada hakikatnya merupakan kesadaran bahwa sesama manusia memiliki kedudukan yang sama di mata Allah/ Net
KOMENTAR

KITA mengartikan tawadhu’ sebagai rendah hati. Ini adalah sifat mulia yang membentengi diri kita dari kesombongan.

Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar menjelaskan bahwa “tawadhu’” adalah menampakkan diri lebih rendah pada orang yang ingin mengagungkannya. Ada pula yang mengatakan “tawadhu’” adalah memuliakan orang yang lebih mulia darinya.

Sifat rendah hati alias humble ini berada di antara kesombongan dan rendah diri. Kita tidak merasa jumawa jika memiliki harta berlimpah atau tingkat kecerdasan yang jauh di atas rata-rata namun memanfaatkan kelebihan yang kita miliki untuk kebaikan.

Rasulullah saw. menyuruh umatnya untuk menjadi pribadi tawadhu’. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku supaya kalian bersikap tawadhu’ hingga tidak ada seseorang yang membanggakan dirinya terhadap yang lain, dan tidak ada seseorang menzalimi yang lain.” (H. R. Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

Setiap kita wajib memelihara tawadhu’ agar segala perilaku kita tidak menyakiti orang lain. Tawadhu’ pada hakikatnya merupakan kesadaran bahwa sesama manusia memiliki kedudukan yang sama di mata Allah.

Kaya atau miskin hanyalah ‘gelar’ yang disematkan oleh manusia. Kaya secara finansial belum tentu kaya amalnya. Begitu pun sebaliknya. Miskin harta bukan lantas ia miskin dalam jumlah pahala ibadah.

Tawadhu’ menjadi salah satu faktor pencipta kedamaian di muka bumi. Ketika kita tidak merasa lebih baik dari orang lain, maka kita tidak akan berpikir untuk membully orang lain. Kita tidak merasa boleh mengejek orang lain. Dan kita juga tidak merasa paling benar hingga tidak ingin menyalahkan pendapat orang lain yang berbeda.

Tawadhu’ juga memacu kita untuk berdaya dan berkontribusi dengan ikhlas, lillaahi ta’ala. Dan ketika kita berbuat sesuatu berlandaskan keikhlasan dan tawadhu, kita tidak akan sesumbar dengan pencapaian yang kita raih. Kita tidak sibuk membuat ‘jurang’ antara kita dengan orang lain yang kita anggap biasa-biasa saja.

Dalam Islam, tawadhu’ memiliki beberapa keutamaan yang bisa dirasakan seseorang selama hidup di dunia maupun di akhirat kelak.

Tawadhu’ membuat seseorang dicintai oleh banyak orang. Tentu saja, siapa menyukai orang yang sombong? Ketulusan yang terpancar dari orang yang tawadhu’ akan menjadi sebab ia begitu dicintai dan dihormati.

Tak hanya di dunia, tawadhu’ akan memuliakan seseorang di sisi Allah Swt. Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sedekah tidak mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.”  (H. R. Muslim)

Kita wajib merendahkan hati karena kita adalah manusia, makhluk yang tidak sempurna. Tak pantas kita merasa lebih baik dari orang lain karena kita tidak selalu tahu bagaimana ia membangun jalan keridhaan menuju Sang Khalik. Bisa jadi ia lebih baik dari kita dalam hablumminallah.

Kita pun tidak bisa menganggap orang lain lebih rendah dari kita karena tak pernah melihat atau mendengar ia berbagi dengan sesama. Bisa jadi hablumminannas-nya lebih luwes dan lebih banyak sedekahnya tanpa perlu keriuhan.

Jangan menunggu tawadhu’ hilang dari hati kita. Saatnya memupuk tawadhu’ mulai sekarang, agar hati kita merasa tenteram ke mana pun melangkah dan melapangkan jalan menuju ketenteraman dunia.

 




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur